Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tiba-tiba hujan.
Euforia bumi terbebas dari kegersangan. Derajat suhu cukup menurun, cukup nyaman jadinya. Untuk sekadar makan malam bersama, masih hangat rasanya.
Dentingan alat makan beradu. Hening tanpa percakapan di antara ayah dan putrinya itu. Tak apa, Jisu sudah senang duduk berseberangan dengan sang ayah.
Tapi ada hal yang harus dibahasnya. Penting.
"Appa," ucap Jisu.
Mengubah pandang, pria itu menatap putrinya.
"Wae?"
Tunggu, respon yang terlalu cepat. Memang sang ayah telah menghangat sikapnya, tapi Jisu sedikit belum terbiasa. Dan kini ia malah sedikit gugup jadinya.
"Itu——begini. . .
aku ingin membatalkan perjodohannya."
Sejamang dua maniknya memejam. Jisu terlalu mempersiapkan diri untuk mendapat sebuah tamparan, atau sekadar umpatan dari makhluk di depannya.
Namun, begitu dinanti malah tiada jadinya. Tidak ada respon bertalu tantrum. Semuanya cukup tenang.
"Maafkan aku, ayah."
"Lakukan semaumu."
Ah, rasanya ingin dikutuk saja gemuruh suara hujan. Pasalnya menderas pada waktu yang kurang tepat. Jisu jadi ragu dengan apa yang samar didengarnya. Sekarang kepada hujan bisakah mereka menjelasknnya lagi? Ah, benar-benar!
"Maksud ayah——" kalimat Jisu terpotong.
"Aku minta maaf.
Selama ini aku salah, jadi. . .
mulai sekarang, lakukan sesukamu."
Satu lengkungan manis terulas di wajah Jisu. Ia tahu. Kini jelas sudah ungkapan kalimat dari sang ayah. Dan Jisu berterima kasih dibuatnya.
"Gomawo, appa."
Spekulasi pemberhentian obrolan tidak terbukti. Topik awal kembali dibahas. Keduanya larut begitu saja. Tak peduli sisa hidangan yang kian mendingin. Juga detik waktu yang terus berlalu.