Pamit undur diri

160 34 177
                                    

Tuan, mungkin jawaban semesta memang ada di kamu.
Namun, Tuhan belum meng"Amin"kan bahwa sepenuh harapku adalah kamu.

Tuan, wujudmu adalah kisi-kisi dari segala kekosonganku yang ingin diisi.

Tapi mungkin Sang Maha tengah menguji hamba-Nya, akankah terjebak di lubang yang sama?

Kadang obsesiku menghasud untuk mengekangmu.
Sebab semakin aku mengenalmu, semakin aku berharap jadi satu-satunya yang kau mau.

Dari banyaknya keinginan, aku ingin menjadi pencapaian yang kau harapkan.

Aku ingin menjadi porosmu, di mana aku adalah tempat menyemai seluruh asamu.

Hasratku sangat gila, mungkin jika kau tahu akan menjauh begitu saja.

Tapi aku yakin.
Jika jawaban kegelisahanku adalah kamu, semesta tentu punya cara untuk menyatukan kita.

Tuan, aku tahu kau pun rentan.
Kita sama-sama pesakitan.
Atma kita masih dihuni trauma serta ketakutan.

Kita adalah dua manusia rapuh yang saling menemukan separuh.
Namun, kedekatan ini bisa menjadi boomerang untuk kita tersungkur jatuh.

Nyali kita masih setipis awan; begitu mudah dipermainkan.

Aku tak berhak menuntutmu memenuhi ekspektasiku.
Aku tak berhak menghakimi ketidak sesuaian harapanku.

Tuan, hadirmu adalah keindahan yang membingungkan.

Entah..
Harus aku apa kan?

Aku sang puan yang masih bimbang akan hidupnya, dihantui cemas saat kedekatan ini semakin menuai perkembangan.

Tuan, rasa takutku lebih berkuasa dibanding rasa nyaman.

Aku sudah tak sanggup bila harus kembali menanggung kehilangan.

Jika semua berakhir saat aku tengah menata diriku, itu benar-benar akan merusakku secara keseluruhan.

Sungguh, kau adalah peristiwa paling istimewa yang nyata dihadirkan semesta.

Tuan sebelum rasaku semakin mengambil alih kendali, aku pamit undur diri.

Aku butuh menetralisir perasaan yang mengundang multitafsir.

Aku butuh menepi untuk tahu apa yang dimau hati.

Tuan aku tahu, masih ada banyak hal di luar sana yang ingin kau perjuangkan.

Tuntutan orang tua serta impian.
Janji dengan diri sendiri, serta kesembuhan atas rasa sakit yang mendiami.

Ada banyak hal yang lebih layak diutamakan.

Tuan aku persilakan kau terbang, dan mencari persinggahan sebanyak yang kau inginkan.

Sebab aku percaya, jika pemberhentian terakhirmu adalah aku, semesta tentu punya cara untuk mengarahkan itu.

Sungguh, kata "teman" membuat rasa nyaman semakin tak aman.

Perasaanku berkeliaran di zona-zona rawan.

Dan kata "sahabat" nyata membuatku terjerat.

Diantara sepi-sepinya malam dan gersang-gersangnya siang, akaramu bergerilya hebat.
Menabuh-nabuh gelora Maha Dahsyat.

Tuan, aku pamit undur diri.

Semoga dipertemuan kemudian hari, rasaku lebih tahu diri.

Karena sungguh, aku si sepi yang mendapati sosok satu frekuensi begitu labil mengendalikan diri.

***

#Rest Area

Rabu, 21 April 2021
19.39 WIB

(GANIA20)


Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang