Garis Singgung

14 1 0
                                    

Apa kamu tahu aku marah? Aku kecewa, aku sakit dengan keputusan sepihakmu. Apa kamu bisa berpikir untuk menerimamu kembali itu tidak mudah? Oke, hati aku bilang aku bisa nerima kamu, selalu bisa. Tapi kali ini aku ingin mendengarkan logika. Sudah terlalu banyak kekacauan yang disebabkan saat aku terlalu menuruti perasaan. Aku  takut jika aku membuka kesempatan kedua ini cuma akan menyeretku semakin jauh pada apa-apa yang menurutmu tidak masuk akal.

Aku ingat saat kamu menolakku mentah-mentah bahkan seketika membangun bentangan asing paling tidak masuk akal yang memblokade aksesku menujumu. Aku pernah sebegitu berusaha agar kita tetap ada. Tapi kamu, kamu selalu membinasakan seluruh usaha. Kamu menjauh seolah aku amat najis. Kamu menghindar seolah aku monster menjijikkan. Sampai semua perlakuanmu itu membuatku sadar untuk berhenti dan menata jalanku kembali. Perlahan, aku melepas kamu dari setiap siasatku. Aku mesti menata ulang rencanaku. Aku mesti hidup sekalipun dengan kealfaan. Aku mesti melanjutkan langkah sekalipun terseok dengan kaki rancu yang kerap tak tahu diri mencoba mendekatimu kembali.

Aku mencoba untuk hidup meski kamu harus lepas dari tujuan-tujuan. Aku belajar menerima orang lain, berteman dengan orang lain, senang meski gak selalu tentang kamu, belajar bahagia oleh sebab-sebab yang bukan kamu. Aku terus berusaha meski rasanya memuakkan. Meski semua usaha itu semakin membuatku krisis sebab aku telah merasa hidup paling menyenangkan cuma bersamamu, tempat ternyaman cuma kubu-kubu tubuhmu.

Tapi kamu sudah menolakku mentah-mentah. Tidak ada kesempatan untuk maju, dan sudah waktunya untuk mundur.

Sampai di hari kemarin, semesta dengan laku jenakanya kembali mempertemukan kita pada titik yang mau tidak mau mesti kembali akrab.

Aku senang, tentu saja.
Tapi kesenangan-kesenangan itu berbahaya. Kali ini aku tidak mau lagi menyimpannya. Aku benci di saat kamu berkata sepatah kata aku bisa memaknainya hingga ke mana-mana. Aku benci kondisi di mana kamu mampu mengendalikan isi pikiranku. Aku benci perasaan-perasaan tidak mau pulang saat sudah bersamamu.

Di satu sisi aku ingin. Aku ingin sekali menerimamu kembali, persahabatan kita terlalu seru untuk dihentikan. Tapi di antara kiamat dan tamat, aku butuh selamat. Zona nyaman itu cuma menjadi ancaman yang buat aku gak mau lagi ke mana-mana, padahal kamu terbagi ke segala penjuru. Aku cuma mau kamu dengan porsi yang hanya milikku, tapi katamu rasaku tidak bisa dicerna.

Kita beda.

Kita gak bisa.

Kamunya yang gak bisa.

Dan sekarang meski tidak juga terbiasa tanpa kamu, tapi aku sudah mulai menerima kehadiran-kehadiran lain. Aku mulai bisa menerima episode pertemanan dengan yang lain. Tanpa kamu, aku berusaha buat lebih aktif dan berani. Aku mencoba mengenal orang-orang lain dengan apa adanya mereka bukan lagi untuk menggantikanmu. Aku berusaha mengalir oleh keceriaan-keceriaan lain. Mendengarkan cerita-cerita dari mereka meski tidak semeriah saat kamu yang bercerita.

Di hadapanmu aku berusaha tampil bahagia. Padahal andai kamu tahu, aku masih sering menangis atas banteng kuat yang kamu bangun agar aku tidak lagi mendekatimu. Jalanan Purwodadi terlalu menyedihkan untuk aku lalui sendirian. Kota itu tidak ramah. Ada kita di sepanjang ruas-ruas jalan juga deretan bangunan. Aroma-aroma itu masih menusuk kencang mengantarkanku pada keterasingan-keterasingan.

Dan saat tadi kamu tanya apa isi chat yang kuhapus, bagaimana bila kujawab, 'perasaanku'?

Iya, isinya perasaanku. Perasaan yang tidak berani aku utarakan. Padahal saat mengirim pesan itu sudah berulang kali aku meyakinkan diri, tapi ternyata aku tidak punya cukup nyali. Penolakan rasanya terlalu mengerikan. Apalagi pesan-pesan terkahirku yang lalu kamu abaikan. Rasanya berat untuk memberimu ruang kembali. Rasanya aku sudah terlanjur akrab dengan kamu yang fiksi. Lebih ramah dan ada dalam kehendakku.

Aku pernah berkata, biarkan semesta membantu kita. Entah semakin menjauhi atau mendekatkan kembali, biarkan itu berjalan dengan alami. Tapi, saat kesempatan ini datang rasanya aku terlalu pecundang dengan kata-kataku sendiri. Aku ingin kita. Aku mau kita. Tapi perlakuanmu kemarin rasanya terlalu menyakitkan. Saat kamu menjauhi dan menghinakan aku sebegitu nistanya seolah kita tidak pernah kenal, itu benar-benar menyakitkan. Dan untuk menerimamu kembali, aku butuh waktu pikir yang panjang dan berulang.

***

#You hurts me!
But, i miss you a lot:'

Jumat, 2 Desember 2022
09.44 WIB

(GANIA20)

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang