Merelakanmu dengan semestinya (September 2018-2021)

104 20 153
                                    

Setiap orang memiliki masing-masing cara untuk menikmati hujan.
Seperti aku yang memeluk kesendirian.
Seperti kau dalam ranumnya kebahagiaan.

September ialah cerita, suatu kala dalam masa dengan riuhnya kenangan yang terbuka.
Seperti aku yang tengah bersulang kehilangan.
Seperti kau yang kini merayakan kesempurnaan.

Rumahmu adalah alasan mengapa aku tak terizinkan lagi menginjakkan kaki.
Malaikat kecilmu ialah pembatas paling mutlak untukku sadar dan kalah telak.
Lucu sekali, entah kebetulan atau memang semesta senang memberi kejutan.
Kemarin ada kabar dari kawan bahwa permatamu lahir tepat di bulan aku menerima kekalahan.

Bak satire yang mengajakku tertawa getir, menyaksikanmu berbahagia dalam kesempurnaan keluarga kecil.

Memang sudah seharusnya aku menjauh, tak ada lagi akses yang menjadi alasanku boleh menyentuh.

Entah sudah berapa lama aku tidak menuliskanmu, namun izikanlah September membangkitkan ingatan tentangmu.

Lebih dari seribu hari yang lalu, kita sempat merencanakan hal-hal tak terjangkau.
Dalam keterjebakan mimpi, kita pernah saling berjanji.
Seperti baru kemarin aku mencintaimu, kini kau telah menempuh hidup baru.
Namun menangisimu sudah bukan lagi hal yang berlaku.
Dukaku telah bermetamorfosa.
Sudah tidak berwujud air mata.

Kiranya aku telah berdamai dengan takdir.
Setelah sekian lama bersitegang, kini mengingatmu bukan lagi hal yang membuatku meregang.

Kau tidak ingin lagi aku sebut sebagai kesedihan, sebab pada akhirnya aku sadar, kaulah patah hati paling mengagumkan yang tiap incimu aku perlukan untuk mendewasakan perasaan.

Aku tidak cemburu, sakit di dadaku telah mengering seiring waktu.
Tiada sedikit pun niat dariku untuk memasuki hubunganmu, aku hanya rindu, sungguh hanya rindu.

Aku janji, segila-gilanya rindu tak akan ada lagi niat mengganggumu.
Hujan hanya tengah membawa ingatanku pada sosokmu di masa lalu.
Detak jantung yang pernah kau percepat, hari-hari yang pernah kau beri hangat, dan segala macam bahagia yang pernah melintasi benak masa mudaku, kini memenuhi waktu di tiap sunyiku.

Dalam kesendirian, aku melihatmu sebagai porosnya pijar.
Menyala, menjelma cahaya dalam bimbangnya perasaan.
Seluruh pelajaran yang kudapati menjelma tameng untuk menyaring setiap yang hadir.

Kau serupa sirine yang senantiasa memberi isyarat sebelum perasaanku berakibat gawat.
Kau penyeimbang logika, pemberi sadar untuk tak lagi mendamba secara membabi buta.
Walau sekarang semua telah mengalami perubahan, biarlah tetap kurawat luka sebagai rasa sakit paling mengesankan.

Sementara itu, mungkin kau sedang sibuk-sibuknya memandangi wajah putrimu yang tak henti-hentinya menghadirkan senyuman dengan seorang istri yang tertidur damai di pelukan.

Bahagia lengkaplah sudah.
Hatiku telah terbiasa berdarah.

Kau tak pernah tahu lagi bahwa di belahan bumi lain ada yang tetap memelihara kesedihan, agar kelak saat anakmu merengek kau bisa mengunjungiku sebagai sarana hiburan.

Aku rasa menertawai ketidakberdayaanku adalah obyek menarik untuk keluargamu.

Di mana lagi kau bisa menemui seseorang yang berkali-kali menikam perasaannya sendiri, demi menjadikanmu abadi?

Mampirlah, ini suguhan yang tak boleh kau lewatkan.
Bila perlu, akan aku hidangkan berbagai olahan manisan juga asinan dari sekumpulan perasaan yang tercecer di lantai kehilangan.
Sengaja aku satukan sebagai menu yang akan membuatmu ketagihan.
Mungkin rasanya sedikit asing, namun tenanglah, aku sudah biasa mengolahnya.

Tak ada lagi yang perlu disalahkan.
Sebab kita hanyalah susunan masa lalu yang tak pernah digariskan untuk masa depan.

Kau bahagia saja, aku begini cukup.
Mengamatimu dari kejauhan, menggulir history chat diam-diam, merindukanmu dalam-dalam, menghidupi sepi yang terus berdatangan.

Segala hal yang mampu menjembatani terus aku lakukan berulang kali, dengan skala paling pas untuk patah hati.

Jika move on adalah ajang perlombaan, mungkin aku tak akan pernah bisa menang.
Di tubuhku kenangan lebih senang bermain-main.
Apabila diusir ia malah semakin mahir hadir.
Ya, aku menikmati kekalahan, sebab bagiku move on bukanlah perlombaan, melainkan sebuah pendewasaan.

Meskipun aku tak yakin waktu itu kau menganggapku sedemikian penting, namun setidaknya aku pernah merasakan dicintai olehmu.

Luar biasanya debar yang susah dinetralisir, ketenangan yang sempat mampir, balas pesan yang terus bergulir, kedamaian yang menyingkirkan khawatir, bahkan menakjubkannya dunia sihir, pernah aku rasakan sebagai penyempurna masa muda.

Betapa roman remaja penuh bualan, begitu berbunga-bunga untuk awam yang dimabuk kasmaran.

Entah jiwa mereka yang memang dipenuhi keberanian, atau kita yang semakin dewasa justru semakin pecundang.
Tapi bagiku, cinta bukanlah gelora kejuaraan untuk dipamerkan.

Cinta, sebuah definisi yang kehilangan arti tepat saat kau angkat kaki.

Betapa aku mensyukuri kisah ini.
Perih yang selalu ingin aku sesap, dan air mata yang tak kurelakan kering.
Kau seperti itu, luka yang begitu aku nikmati.

Sekarang, di langit September yang kian mengasingkanmu, izinkanlah aku merelakanmu dengan semestinya.

Dengarlah, dengan kesaksian semesta aku tegaskan, "Kini, dengan sebenar-benarnya ketiadaanmu yang hampir membuatku tewas, aku nyatakan, dengan semurni-murninya ikhlas, pada akhirnya aku berhenti menyalahkan, dan kau resmi kulepas"

Inikan yang kau inginkan sedari awal?
Melepasmu dengan sebenar-benarnya ikhlas tanpa membebani air mata.
Biarpun hari-hari yang kulewati setelahmu adalah kesendirian panjang paling menyedihkan.
Namun pada akhirnya aku mampu mendamaikan kegilaan.

Rupanya begini rasanya hidup tanpa nyawa.
Kaki yang berjalan tanpa iringan langkah yang membuatnya berirama.
Udara hampa yang tak lagi memberi warna.
Jari yang harus terbiasa renggang dan kehilangan rasa percaya.

Namun kusadari, hidup akan terus berjalan meski tak sesuai harapan.
Napas mesti dihembuskan meski tak lagi bertautan.
Mata harus tetap terbuka meski yang ditemuinya hanyalah ketiadaan.

Kau terbanglah...
Cari bahagia yang kau dambakan.
Tak ada lagi tuntutan yang mengharuskanmu kembali, biarkan lubang ini menganga tanpa seorang pun yang mengganti.
Karena setelahmu, untuk menerima orang baru mungkin memang sudah seharusnya menyediakan ruang baru pula. Ruang yang tak lagi sama, ruang yang benar-benar baru dan bukan terbangun untuk melanjutkan kisah lama.

Ruang yang entah kapan bisa tercipta.
Kau tenanglah dalam ruang lama.

Di batas petang ini, segalamu akan aku semayamkan.
Dan kini, biarkan aku berdamai dengan kekalahan.

Kau berbahagialah...

Tak perlu dirisaukan, kesedihanku sudah berhenti meminta pertanggungjawaban.

°°°
Kisah denganmu membuatku tumbuh, bukan lumpuh.
Mendewasakan, bukan mendewakan.

Sebab cinta berbalas, bukan berbekas.
Mewujudkan, bukan menjanjikan.

Karena kaulah, patah hati yang belum terizinkan terganti.

***

#Senja di akhir September

Kamis, 30 September 2021
17.15 WIB

(GANIA20)


"Pada keputusanmu memilih pergi, aku sempat percaya adanya kata "Kembali,"
sebelum akhirnya bahagiamu menjadi penegas, bahwa memang sudah selayaknya kau kulepas."

Berbahagialah selalu, Pai...
Terima kasih sudah menjadi kisah paling mengagumkan yang menyalakan masa mudaku.

"Sebab ada kalanya cinta merelakan, bukan memaksakan keinginan."

#Kunti_Mas Wo

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang