Kambing-kambing Kecil, Mati Satu Persatu.

14 1 0
                                    

Pagi itu, aku, kakak (kembaranku), dan ibu entah akan dibawa tuan kami ke mana. Kami naik mobil pick up dan melewati jalanan yang padat di pagi hari. Pasar. Yah, ternyata kami dibawa menuju pasar. Tempat teramai yang mengadili nasib kami. Dari kejauhan aku mendengar rengekan khawatir, tangisan perpisahan, dan ada juga yang gembira sebab menemukan tuan baru yang lebih baik.

Jadi, apakah, apakah tuan kami akan menjual kami pada tuan baru? Padahal kami sudah senang dengan tuan kami yang ini, dia teliti memberi ibu makan yang membuat ASI mengalir lancar dan mengenyangkan kami. Kami baru lahir beberapa bulan lalu. Kelahiranku berbeda 7 menit dengan kakakku. Jangan tanya siapa Ayah kami, sebab kami bukan manusia yang setiap kelahirannya dipertanggungjawabkan oleh seorang Ayah.
Kami tidak tahu siapa Ayah kami, lagipula, Ibu sudah cukup untuk kami.

Ada banyak hewan di pasar ini, mulai dari ayam, bebek, sapi, dan banyak kambing.

Aku melihat sekitar, ada kambing kecil yang menangis sendirian, usianya di bawahku, aku mendekatinya,

"Mbek Mbek.. (Kenapa mbek?)"

"Mbek.. Mbek.. Mbek.. (Ibuku, ibuku sudah dijual lebih dulu. Seorang anak muda membawanya pergi, katanya, ibuku akan disembelih untuk warung makannya)"

Aku sedih mendengar ceritanya, malang sekali. Tidak lama kemudian ada laki-laki paruh baya yang mendekati tuan kami. Aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Pasar ini hiruk pikuk. Tapi…

Tapi kenapa orang itu menarik tali yang mengikat leher ibu. Ibu akan dibawa ke mana?

"Mbek.. Mbek.. Mbek.. (Ibu harus pergi, Nak. Tuan baru memilih ibu tanpa membawa kalian)"

"Mbek.. Mbeek.. (Ibu, ibu akan dibawa ke mana?)" Aku dan kakak mengembek kencang.

"Mbek.. Mbeek.. Mbeeek.. (Maaf, Nak, tapi memang beginilah nasib hewan-hewan seperti kita. Semoga kalian mendapat tuan yang baik anak-anakku. Maaf, ibu tidak bisa menjaga kalian sampai besar)"

Ibu sudah dimasukkan ke dalam pick up, meninggalkan kami yang belum memiliki cukup pemahaman. Bahkan aku haus ibu, aku lapar, dan aku masih butuh ASI.

"Mbek.. Mbeek.. (Kak, bagaimana ini Kak?)"

"Mbek.. Mbeek.. (Kakak juga tidak tahu)"

***

Siang hari, kami dibawa kembali ke pick up yang tadi pagi aku naiki. Ada 5 anak-anak kambing seusia kami di dalam pick up ini. Kami saling berteriak, menangis, meraung bahkan ada yang berontak turun. Entah kami akan dibawa ke mana lagi.

Beberapa waktu setelah kami melewati jalan berkelok-kelok akhirnya kami sampai.ke kandang baru. Entah tuan mana yang memiliki kandang ini. Tadi saat kami melewati halaman rumahnya sepi. Tuan yang membawa kami nampak menelepon seseorang dan mengatakan bahwa pesanannya sudah sampai. Kemudian tuan itu mengikat kami, lantas pergi.

Kami haus, kami lapar, kami semua masih terlalu kecil untuk dipisahkan dengan ibu-ibu kami. Aku penasaran dengan tuan baru, apakah dia baik?

Setelah sangat lama aku menebak-nebak akan seperti apa tuan kami, muncul laki-laki paruh baya dengan keriput di sudut-sudut matanya. Terlihat jelas wajah lelahnya. Ternyata tuan ini baru pulang dari sawah setelah berkutat memanen kacang.

Tuan itu memegang tubuh kami satu per satu. "Masih kecil-kecil sekali, apakah mereka bisa bertahan hidup?"

"Kecil-kecil sekali, Pak. Bukankah terlalu kecil untuk dipisahkan dengan induknya?" tanya sang istri.

"Kemarin bapak pesan kambing yang cukup dengan uang kita, Bu, tapi tidak sekecil ini juga, 5 ekor tapi terlalu kecil. Andaikan 2 ekor dan lebih besar itu lebih baik. Meski tidak banyak tapi mungkin lebih bisa bertahan hidup."

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang