Baik-Baik Bajingan

7 3 0
                                    

Aku tidak tahu betul apa yang sebenarnya sedang kamu hadapi. Kamu hanya mengatakan bahwa hal itu berat dan belum bisa kamu bagi. Katamu, kepala dan hatimu sampai tidak lagi mengenal sinkronisasi.

Kamu memang tampak kacau saat kita bertemu kemarin. Rambutmu berantakan. Bahkan aku rasa berat badanmu turun. Kamu tampil tidak teratur. Kamu menyalakan rokok yang asapnya mengganggu orang-orang, sebenarnya aku tahu itu usahamu untuk merasa tenang. Aku memang merasa seperti ada yang salah dalam diri kamu. Sangat jelas di mataku, ada bagian yang tidak baik-baik saja. Percayalah, meski kamu tertawa terbahak-bahak bersama yang lain, tapi aku paham betul semua itu palsu. Aku paham betul kamu tengah menutupi sesuatu. Aku merasakannya. Jelas betul, ada gurat duka dalam tawa yang kamu paksa.

Sayangnya pertemuan kemarin kita tidak saling sapa. Kita seperti tidak saling mengenal. Egoku ingin kamu sapa lebih dulu. Egoku harus menang dalam perlombaan keras kepala.

Akhirnya kita hanya saling diam. Tanpa tegur sapa. Seolah tidak pernah saling kenal. Dan aku? Apa kamu tahu apa yang akhirnya aku dapatkan dari saling diam kita?

Aku menangis sehari semalaman.
Sampai akhirnya aku sudah tidak kuat lagi dengan kejanggalan ini. Aku ingin bertanya padamu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa kita mendadak begini? Pikiranku sudah ke mana-mana. Aku takut kamu lupakan secepat ini.  Bagaimana bisa kamu seperti tidak mengenaliku? Bahkan saat aku sudah ada di hadapanmu kamu tetap tidak menyapa. Bagaimana bisa kita menjadi saling bisu?

Aku sudah tidak tahan. Dibanding terus mendewakan egoku, aku lebih takut bila kamu hilang. Akhirnya aku menghubungimu dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

Awalnya kamu hanya menjawab pertanyaanku dengan jokes basa-basi.
Aku terus berusaha mencari cela demi mendapatkan apa yang aku cari.

"Aku hanya akan bicara jika diajak bicara, jika tidak, aku diam." katamu.

Meski hanya sebatas ketikan, tapi aku mendengar ada nada getir di sana.

Pasalnya aku mengenalmu, kamu bukan sosok introvert dan apatis seperti ini. Kamu juga bukan perokok aktif, tapi aku mengamati sejak kapan kamu menjadi sosok yang tidak bisa dipisahkan dengan tembakau. Kamu menjadi sosok yang gusar jika jauh dari zat adiktif itu. Tidak masalah merokok, tapi aku harap kamu masih dalam batas wajar. Aku harap, kamu tidak merambah ke zat adiktif lain yang beresiko lebih tinggi.~ kecuali aku. Ah, maksudku tidak apa-apa menjadikanku zat adiktif biar sesekali kamu sakaw sekacau-kacau perasaanku.

"Sejak kapan? Sejak kapan kamu jadi seperti ini? Ini bukan kamu yang aku kenal. Kamu kenapa sekarang seperti ini?" tanyaku yang terkesan mendesak.

"Aku tidak tahu. Hanya saja otak dan pikiranku terlalu lelah sekarang. Pikiranku sedang berat."

"Aku harap kamu lekas membaik.
Kamu sekarang udah gak pernah cerita sama aku. Emang sekarang kalo kamu kenapa-kenapa, kamu cerita sama siapa?"

Aku selalu bertanya-tanya, kenapa kamu sudah tidak pernah cerita lagi. Apa kamu sudah menemukan seseorang yang lebih seru dan nyaman?

Tapi katamu dulu, kamu hanya cerita sama aku. Hanya aku yang bisa kamu percayai. Tapi apa sekarang kamu sudah mendapat pengganti yang lebih dari aku? Secepat ini?
Kadang di sela-sela tangis juga rindu, aku bertanya-tanya tentang hal itu. Aku tidak terima kita habis begitu saja.

"Aku pendam sendiri. Nanti jika keadaannya lebih baik aku ceritakan semuanya sama kamu."

Padat, jelas, sederhana.
Tapi kata-kata sekilas itu langsung mampu menyingkirkan tangisku selama berhari-hari. Ada perasaan hangat menyusup hati. Sesederhana itu kamu selalu mampu membuatku dilema. Kamu memang baik-baik bajingan.

Maka kusemogakan di kesempatan berikutnya kita bisa seperti sedia kala dan saling bertukar cerita. Aku tunggu ya.

***

#Semoga kita tetap erat lagi dekat.

Selasa, 17/5/22
17.54 WIB

(GANIA20)

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang