Ah, Kamu Gak Perlu Tahu.

24 13 64
                                    

Jumat, 8/4/22
15.52 WIB

Aku baru saja pulang, A.
Setelah tadi mengambil buku di rumah Komting.

Oh iya, sebelum itu aku sempat mampir ke makam Bapak. Apa kemarin kamu sudah sempat ke sana? Karena biasanya setiap kamis sore kamu selalu menyempatkan waktu untuk berziarah. Atau mungkin, hari ini? Karena aku lihat bunga-bunga di atas pusara sudah kering. Jika iya, semoga kita tidak berpapasan. Karena aku tidak memiliki cukup keberanian untuk muncul di hadapanmu. Karena apa yang harus kukatakan nanti jika kamu mengetahui aku datang ke sini sendirian?-- Ah, sebenarnya tidak sesendiri itu juga, karena aku ditemani salah satu teman kuliah kita. Tapi tenang, dia tidak tahu tengah mengantarku ke makam siapa.

A, ternyata tidak semua bunga yang kutanam hidup. Selama ini aku kira semuanya sudah berbunga, tapi ternyata tidak. Padahal di rumahku semaian dari bibit yang sama ini tidak henti-hentinya berbunga.
Apa kamu atau seseorang telah mencabutnya karena tumbuhnya yang tidak beraturan? Atau memang bunga itu sejak awal layu lalu mati?

Oh iya, kenapa kamu tidak mengabariku tentang tumbuh-kembang bunga yang kutanam?
Padahal aku sangat berharap kamu senantiasa mengabariku agar tahu perkembangannya. Padahal aku berharap, bunga itu selalu bisa menjadi pondasi awal kita memulai percakapan.

Tapi, ternyata tidak.

Kamu semakin sibuk.
Dan aku dirundung gengsi.

A, tadi aku sempat menulis surat dan memendamnya di sana. Aku harap hujan segera turun untuk membantu melunturkan tintanya, atau barangkali unsur zat hara segera mengurai kertasnya.

Aku takut jika kamu atau siapa pun sampai tahu isi surat itu. Isi surat yang menyampaikan kevulgaran perasaanku.

Tadi aku juga sempat membicarakan banyak hal dengan Bapak.
Aku yakin, meski aku dan Bapak berbeda dimensi, tapi beliau pasti tahu apa yang aku bicarakan.

Andai tidak memberatkan, aku berharap beliau bersedia menyampaikan padamu tentang apa-apa yang tidak bisa aku utarakan secara langsung kepadamu.

Ah, aku lancang ya?
Maaf...

Karena ke mana lagi aku harus mengadu dan melepas rindu?
Di hadapanmu?

Bukankah sejak dulu ajakanku bertemu selalu berujung penolakan?
Katamu, kamu terlalu sibuk dan tidak menemukan tanggal merah. Ah, rasanya aku sudah tidak ingin lagi mengemis waktumu yang kelewat berharga dan tidak pernah untukku itu.

Jika kamu tanya mengapa harus ke makam?
Karena ke mana lagi, A?
Ke mana lagi?

Aku tidak bisa meminta temu 'kan?
Kamu tidak pernah bisa datang 'kan?

Apa Ibu memarahimu karena ada bunga baru lagi yang tidak diketahui datang dari siapa?
Apa Ibu memarahimu?

Apa aku salah besar ingin bertemu Bapak dan mengutarakan semuanya?
Apa aku salah besar?

Bunga itu memang tidak terlalu cantik. Biasa saja. Murah. Terlalu mudah untuk bisa ditemui di pinggir-pinggir jalan.
Kamu juga tidak perlu merawatnya jika memang tidak mau. Kamu boleh mencabutnya, menggantinya dengan bunga baru yang kamu rasa lebih indah, lebih anggun, dan lebih harum.

Karena aku tahu, cepat atau lambat, persis seperti itu juga posisiku di dunia nyata.

Maka biarkan. Biarkan selain aku bunga-bunga itu juga bernasib sama malangnya.

Kamu berhak memilih.
Sangat berhak memilih.
Aku tidak akan mengganggu hak pilihmu. Tidak.

Sama sepertiku yang membebaskanmu memilih, maka bebaskan aku juga dalam menentukan pilihan. Pilihanku yang jatuh memilihmu.
Sampai nanti dengan sendirinya rasa lelah menyadarkanku untuk berhenti memilih kamu.

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang