Love-Hate Relationship

14 1 0
                                    

Pagi ini kami bertengkar.

Sebetulnya, aku yang memulai pertengkaran ini. Akhir-akhir ini aku memang lebih sering mengajaknya bertengkar. Hal sekecil apapun kerap membuatku marah. Yah, akhir-akhir ini aku emang lagi sering marah sama dia meski oleh hal gak jelas. Meski di balik itu, sebenarnya pematik utamanya ialah oleh topik yang selalu ia hindari. Topik yang menurutnya gak perlu dibahas, gak perlu ada di antara kami
Kami baik-baik saja tanpa kejelasan, iya itu menurutnya. Tapi tidak denganku.

Sebenarnya, kami sudah pernah berakhir. Pertanyaanku membuatnya selalu lari. Pernah pula membuatnya jadi asing sekali. Ia selalu menghindari pertanyaan itu, dan meninggalkan hal-hal yang memicu perdebatan oleh hal tersebut.

Tapi aku tidak bisa terus-terusan haha-hehe di depannya, tapi tersedu-sedu di belakangnya. Peran yang sudah aku lakonkan bertahun-tahun ini sudah membuatku terlampau muak. Untuk dibawanya terbang tinggi tapi tidak kenal rumah. Bagaimanapun, aku butuh rumah. Rasa senang saja tidak cukup.

Pagi ini, ia membatalkan rencana yang sudah kami susun beberapa hari lalu. Padahal, semalaman selama berjam-jam aku sudah mewarnai kukuku agar tampil cantik untuknya. Aku sudah membayangkan betapa menyenangkannya hari ini. Tapi saat aku bangun tidur kulihat ia membatalkan rencana itu. Semalam ia mengirimkan pesan, "Maaf ya, ternyata besok gak bisa. Mobil aku dibawa Mamah, padahal aku udah bilang kalau hari ini ada acara, tapi lagi-lagi aku harus ngalah. Terpaksa aku besok naik motor sama Nug."

Sebenarnya bukan masalah. Tapi, masalah yang bukan apa-apa ini membuatku seketika naik pitam dan membawaku ke topik obrolan yang itu-itu lagi; masalah utama yang selalu ia hindari. Topik yang selalu ia timbun dengan obrolan-obrolan lain. Dengan amarah yang kentara aku menjatuhkan lusinan ego itu ke room chat kita,

"Hah? Gak jadi? Terus aku gimana? Kamu gak mikir ya. Bisa-bisanya kamu milih orang lain. Padahal aku udah sebegitu berusahanya buat kamu, tapi bisa-bisanya kamu mentingin orang lain."

"Bukannya aku mentingin dia, tapi dari awal bimbingan skripsi dia  udah bilang mau bareng aku terus soalnya dia gak ada motor. Kamu keliru kalau kamu  ngomong aku mentingin dia. Ini bukan soal aku sama siapa dan aku mentingin siapa. Aku sama sekali gak ada niat batalin. Rencananya kan kita bareng-bareng, cuma kan gak tau kalo bakal ada kendala gini. Aku kemarin sampai ribut sama Mamah gara-gara mobil."

Rencananya hari ini aku mau daftar sidang, sedangkan dia masih bimbingan skripsi. Dia satu dosbim dengan Nugraha; beda denganku. Aku kerap membantunya mengerjakan skripsi, yah sebesar apapun rasa kesalku, nyatanya kasih sayang emang susah diatur.

"Jadi gapapa ya kalau batalin aku? Asal Nug jangan sampai kecewa gitu?"

Memang ketika sudah dilingkupi emosi, kadang manusia suka gak masuk akal. Merasa cemburu melihat dia lebih memilih orang lain, meski itu sesama jenis.

"Harusnya ini kita nyari solusi. Gimana baiknya? Kapan ada waktu lagi? Harusnya kita bicarakan baik-baik. Kalau terus debat gini gak akan selesai masalahnya malah cuma akan nambah masalah baru."

Masalah baru katanya? Yang kemarin saja tidak pernah dia pastikan apa aku sudah baik-baik saja atau belum. Dia tidak peduli.

"Dulu aku sabar banget ngadepin kamu. Aku selalu ngalah. Tapi semua itu udah buat aku muak. Kamu aja kemarin bisa berbuat di luar nalar. Emangnya aku bisa lupain dan maafin kejadian kemarin semudah itu apa?"

Dia mengalihkan topik obrolan; lagi dan lagi, untuk ke selian kali.

"Selalu menghindar kalau udah bahas itu, haha.."

"Lama kelamaan aku hilang respect  ke kamu." lanjutku.

"Bahas apa?"

Dia pura-pura bodoh, atau memang tolol sih?

"Mbuh, emang gak nyampai ya pikiran kamu?"

"Oh itu? Ya ngapain aku tanggapin? Setiap orang punya pemikiran sendiri. Percuma aku tanggapi kalau kamu mandang dari sisi buruknya aja yang cuma akan buat dendam, iri, dengki. Aku gak mau. Lagian ego orang beda-beda. Ya gapapa kalau kamu masih meninggikan ego kamu, mau bagaimanapun pandanganmu ke aku tetap buruk jadi kan percuma penjelasan aku."

"Udah, cukup! Emang percuma."

"Kan, emang percuma kalau aku tanggapi." katanya, dengan enteng.

"Kamu egois tahu gak? Kamu egois banget. Kamu gak bisa paham, kamu selalu melihat dari sudut pandangmu sendiri."

Satu menit,

Dua menit,

Centang biru.

Lima menit,

Hanya dia baca.

Dia memang selalu begitu. Meninggalkan obrolan ini ketika tengah ada di puncaknya. Dan meski sudah tahu bakal terluka, aku masih ingin terus mendaki puncak itu yang ternyata ia selalu memilih meninggalkan puncak itu duluan.

Jawabannya tidak pernah cukup. Jawabannya tidak cukup membuatku mengerti apalagi paham. Ia membiarkanku menyimpulkan semuanya sendirian. Ia membiarkanku menyusuri ruang gelap itu sendirian. Dan..

Bertahun-tahun lamanya.

Bodohnya lagi,

aku bersedia.

***

#You hurt me.
But, i love you more.

Rabu, 15 Februari 2023.
14.46 WIB

(GANIA20)


Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang