peR(e)but-R(i)butan Takhta Memori

19 2 0
                                    

Musim hujan selalu berhasil membangun kembali suasana yang telah lindap.
Aroma-aroma yang sangat dikenali panca indera kembali menguar bersama manjanya petrichor.

Seperti sekarang ini, cuaca mendung disertai gerimis lembut sepanjang hari memanggil-manggil memori yang berusaha aku damaikan dalam sanubari.

Kenangan demi kenangan bermunculan saling desak, saling ribut, saling rebut, saling ingin tampil paling memukau.

Semua sudah tidak kenal nomor antrean, tidak peduli ia datang dari masa mana, bodo amat jika harus saling injak. Semua hanya ingin menunjukkan gebyar paling meriah, mencuri konsentrasi si empunya tubuh agar terpusat pada titian masa paling nyala.

Satu, dua, tiga, sepuluh, lima, tujuh, dua puluh dua, semua tidak kenal runut. Siapa yang paling nyala ia yang akan mendapat mahkota.

Si empunya tubuh kebingungan. Terlalu banyak yang simpang siur menyilaukan dan bising tidak kenal aturan.

Siapakah yang akan menang?

Masa nomor 1? Masa nomor 7? Masa nomor 43? Masa nomor 5?

Semua nyala-redup, nyala-redup, saling rebut, saling ribut, ingin menjadi yang paling utama.

Si empunya tubuh menutup mata diiringi tarikan napas panjang, ada perasaan kerontang yang tempias.

Semusim yang lalu, penghujan menjadi kala paling hangat dan manis yang pernah ia dapatkan semasa hidupnya. Ah, rasanya terlalu cepat waktu membawanya berputar-putar pada ada dan tiada.

Aroma itu terasa ranum, masih nyata betul wujud perasaan itu. Kini, masih dengan memejamkan mata, ia seperti melihat momen-momen itu dalam sebuah portal yang tidak bisa ia tembus. Ia menyaksikan bayangan dirinya bersama seseorang yang menjadi topik hatinya waktu itu. Setiap gelak tawa yang saling beradu dengan sosok di dekatnya itu melahirkan kehangatan yang akhirnya menjadi kesalahan.

Ah, sebentar, kesalahan? Apa kasih sayang adalah sebuah kesalahan? Apakah lugunya perasaan patut dihakimi?
Yah, begitulah kiranya, tatkala beberapa bulan yang lalu ia mendapat jawaban dari sang laki-laki, katanya, tak semestinya ada 'perasaan' dalam persahabatan. Katanya, 'perasaan' akan merusak persahabatan, merepotkan, tidak bisa dibiarkan tumbuh-kembang, maka sang laki-laki memutuskan menjauh, mangkir dari segala butuh.

Katanya, mulai lagi dari nol.

Ah, lelucon apa yang baru saja dia utarakan?

Nol yang seperti apa?

Nol, tersirat banyak prasangka.
Sayang sekali, tidak ada lagi kesempatan bertanya. Menjadi komparasi ambigu di antara jenaka-jentaka. Tidak ada dialog, hanya eskalasi monolog. Menghasilkan hipotesa-hipetosa tidak ramah yang terus berestafet.

Begitulah, akhir konsekuensi yang perempuan itu dapatkan, sebuah bentangan asing yang tidak masuk akal.

Maka, dengan jelas dinyatakan, bahwa pada putaran ronde kali ini, kisah itulah yang menjadi pemenang. Selamat...

Selamat,
Aku butuh selamat, tolong!!!

***

#Obituari interaksi.

Kamis, 15/9/22
15.45 WIB

(GANIA20)

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang