Surat yang tidak jadi dikirim

14 1 0
                                    

Sejujurnya sejak awal aku gelagapan mengatasi rasa senang pada level seperti ini. Ini sungguh tidak sehat untukku. Aku merasa ada yang salah. Kesalahan yang harus segera diluruskan. Namun setiap aku berusaha meluruskan aku malah semakin tenggelam oleh usahaku sendiri. Rasa senang ini sudah terlalu egois. Aku bisa tiarap dalam liga ini. Sensasi yang ditawarkannya hanya membawaku pada arah ketidakjelasan yang mesti segera dipastikan. Kewarasanku perlu diselamatkan. Meski ternyata harga yang dibayar adalah keterasingan paling terpaksa. Aku mengenali setiap tumbuh kembang perasaanku. Setiap kemajuannya membuatku was-was. Sampai aku kehabisan akal untuk menanganinya. Akhirnya secara alami dalam berbagai kesempatan aku menyampaikan afeksi dalam takaran peduli yang terlampau fantastis. Rasa peduli itu membuatku hangat dan ingin menyajikannya lagi, lagi dan lagi. Meski tidak aku pungkiri ada bagian dlm diriku yg menganggap itu sebagai investasi. Iya, aku juga berharap kamu menjadi peduli kepadaku sebagimana aku. Namun aku tahu bahwa peduli adalah pekerjaan sukarela paling menyebalkan. Jadi aku tidak bisa memaksa. Itu sebuah ketidakmungkinan. Sampai akhirnya rasa peduli itu berubah menjadi boomerang yang menyakitiku. Aku sakit karena terlalu peduli. Kepedulian yang membuatku larut. Itu benar-benar menyita energi. Aku terobsesi menjadi pelindung bagi luka-lukamu yang pernah kamu ceritakan. Aku ingin menjadi yang selalu ada dan menyajikan apa saja yang bisa membuatmu kembali tertawa. Kehangatan itu berbalik menjadi gigil paling palung. Sampai aku tidak sadar aku sudah terjerat ke dalam salah satu luka itu sendiri. Ternyata baik sama orang juga harus ada batas wajarnya. Kini akhirnya buramku menemukan titik terang. Harapan-harapan itu kini tahu cara menyudahi ilusi yang tidak ada ujungnya. Jadi asing ternyata lebih menyesakkan dari akhir cerita itu sendiri. Ya apapun keadaannya sekarang tidak dipungkiri bahwa kamu pernah buat aku senang. Dirasa hanya sebatas nyaman yang kumaknai sedemikian tingginya, mungkin terlalu berlebihan jika aku menyebutnya suatu jatuh cinta. Aku hanya sekadar 'jatuh suka", Tuan. Aku menyukai pertemanan ini hingga rasa suka itu menjelma menjadi letupan bahagia yang berbahaya. Aku terlanjur memaksudkan rasa senang itu ke dalam salah satu rasa yang sejak awal kamu peringatkan agar tidak ada. Aku terlanjur memaknai secara hiperbola. Kalau sudah begini baru sadar betapa bahayanya rasa senang. Katamu, rasaku tidak tepat. Tapi kasih sayang tidak kenal tempat. Aku maunya tidak menyayangimu, tapi adanya begitu. Dan kasih sayang tidak patut dihakimi. Beberapa orang menyayangi seseorang dengan berharap yang dituju tahu sebesar apa rasa sayang yang ada. Tapi aku tidak. Aku lebih berharap kamu tahu betapa tidak inginnya aku menyayangimu

Tenang saja, saat menulis ini aku sudah berkali-kali memutuskan menyerah. Berkali-kali kukatakan "Kita Lengkara". Aku mengerti selamanya akan selalu ada nama lain di sana. Akhirnya kisah latah dengan naratif yg berkali-kali aku kuak itu kini benar-benar berakhir.

Sekian kejujuranku terhadapmu. Sekian suratku untukmu.

Ya, ternyata, aku terlalu serius untuk cerita sebercanda ini.

***

#Mundur, hancurmu sudah kelewatan.

Kamis, 18 Agustus 2022
05.43 WIB

(GANIA20)

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang