Suffer In Silence

52 8 1
                                    

"Kamu kenapa tidur terus? Pusing apa lagi gak enak badan?"

Ibu sering menanyakan keadaanku saat aku terlalu banyak tidur.
Beliau juga sering membangunkanku (atau mungkin lebih tepatnya mengganggu) saat mendapati aku tidur dalam jangka waktu berlebihan.
Beliau tampak khawatir jika aku tampak tidak baik-baik saja, namun aku selalu menjawab bahwa aku hanya mengantuk dan tenang Bu, aku baik-baik saja.

Iya, aku baik-baik saja; fisikku.

Namun tidak dengan isi kepalaku.
Aku tidak baik-baik saja, Bu.
Aku tidak baik-baik saja.

Namun aku tidak ingin Ibu bertambah pikiran. Aku tidak suka saat Ibu nampak cemas dan khawatir, hingga aku memilih diam.

Bagaimana aku menjelaskan bahwa aku tidak baik-baik saja, jika aku sendiri tidak cukup paham kenapa.
Aku hanya bingung cara menjelaskan, sebab orang-orang menganggap ini hal/fase normal.

Aku banyak tidur sebab hanya itu satu-satunya pelarian.
Aku merasa sendirian, Bu.
Aku merasa sendirian.

Terjebak pada repetisi berulang-ulang.
Aku butuh keluar.
Namun aku tak yakin mampu bertanggung jawab, jika aku memilih jalanku sendiri.

Aku tidak tahu bagaimana caraku menjelaskan bahwa aku tidak baik-baik saja.
Seolah perasaan ini hanyalah sesuatu yang mudah dikesampingkan, mudah dienyahkan, mudah digampangkan.

Tapi tidak.
Seluruh kebingungan, ketakutan, kecemasan ini telah menjadi belenggu.
Aku sepi, aku sendiri, aku takut, aku tersudut, aku tak tahu harus ke mana lagi selain mengalir mengikuti alur.

Tuhan, tolong!

Beri aku tenang, Tuhan.
Bantu aku sembuh dari semua pemikiran busuk dan seluruh ketakutan ini.

Aku ingin baik-baik saja.

Tuhan, boleh tidak, sejenak saja, aku rindu rasanya ditemani. Aku rindu rasanya dimengerti tanpa perlu repot-repot menjelaskan.

Satu titik telah berakhir, tapi hidupku belum berakhir.

Aku sendirian.
Terantuk-antuk menentukan jalan.

Tuhan, aku butuh kehadiran.

Aku rindu dipahami, pelukan, dan sesederhana gandengan tangan.

Sudah terlalu lama aku stuck di kondisi seperti ini. Pada repetisi yang telah membuatku beku berkali-kali.

Katanya, aku harus bertahan, aku tidak boleh kembali menjadi pecundang yang menginginkan akhir sebelum berakhir.

Masih ada Bapak Ibu yang mesti aku balas jasa-jasanya, adik yang mesti aku bantu dalam menerka arah mendewasa, ada harapan kakak agar aku menjadi anak yang berguna.

Tapi aku lelah, Tuhan.

Aku tidak tahu ke mana mesti bercerita, selain pada Sang Maha.

Engkau selalu memberiku jawaban, mungkin tidak secara langsung berupa jalan keluar.
Namun Engkau selalu menjawabku melalui cerita orang-orang yang kondisinya di bawahku.

Entah secara sengaja atau tidak, setiap aku bingung dengan kehidupan, Engkau mempertemukanku dengan orang-orang yang jauh lebih kesulitan.
Seolah Engkau berkata, "Gapapa, untuk kenapa-napa."

Kau membuatku kembali bersyukur dan jauh lebih kuat.
Dan saat-saat seperti itu aku merasa Engkau benar-benar nyata.

Aku menjadi seseorang yang paling peduli (kata seseorang yang kuberi peduli).

Padahal di balik kepedulianku ialah karena aku menginginkan adanya seseorang yang demikian.
Namun tak kutemukan, hingga aku memulainya dari diriku sendiri.

Di balik kedulianku ialah sebab aku tahu rasanya benar-benar sendiri.
Aku tahu rasanya sepi, namun tak tahu harus ke mana saat benar-benar butuh ditemani.

Aku berharap ada orang yang mampu mengerti, mau memahami, mau menemani, dan tak mudah menghakimi.
Namun tak kutemukan, hingga aku sendiri yang berusaha demikian.

Setidaknya dari kebaikanku yang membuat seseorang merasa berarti, aku ikut bahagia sebab merasa sedikit berguna.

***

#Silence

Rabu, 10 November 2021
10.35 WIB

(GANIA20)

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang