Menyayangimu Terasa Seperti Pendosa

17 2 0
                                    

"Sejak awal udah aku katakan jangan terlalu pakai perasaan karena aku gak pakai perasaan. Perasaan hanya akan merusak pertemanan. Dan aku gak bisa!" kata lelaki itu dari seberang sana.

Apakah menurutmu aku berharap kamu memiliki perasaan yang sama? Iya, lagi.

"Perasaan harus dibalas perasaan, hanya saja beberapa persoalan di bumi tidak kenal keadilan." kata bijak Paus itu benar ternyata.

Tidak dipungkiri, aku juga pengen kamu memiliki perasaan sayang. Aku pengen kamu peduliin balik. Aku pengennya gak diakhiri, tapi diperbaiki. Aku mau kamu, tapi kamu gak mau tahu.

Katamu, perasaanku merusak pertemanan. Kamu gak bisa. Kamu juga gak ingin salah satu dari kita merasa tersakiti. Tapi dengan kamu mendadak buat bentangan asing, ini juga menyakiti. Karena ternyata menjadi asing itu jauh lebih menyesakkan dari akhir cerita itu sendiri.

Ah, ternyata benar, peduliku tidak menyisakan apa pun. Ternyata aku cuma kamu anggep sebagai teman yang nyaman dan menyenangkan.

Pagi ini menyayangimu terasa seperti pendosa.

Apa aku salah mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya?

Tapi diam juga berarti bunuh diri.

Setidaknya untuk terakhir kali, aku butuh penjelasan, tentang sedikit jawaban dari banyaknya 'kenapa'. Ya, meskipun untuk terakhir kalinya salam perpisahan yang kukirimkan itu bahkan tidak kamu baca. Emang aku sesalah itu ya?

Saat kemarin aku menyatakan bahwa alasannya karena kamu memiliki kemiripan (kenyamanan) seperti tokoh lamaku (Paijah) sebenarnya aku tengah berlindung di balik kata-kata munafik. Jangan percaya, ya. Bukan itu alasannya. Tapi karena, karena sama kamu aku bisa bebas menjadi diri sendiri. Sama kamu aku gak perlu jaim. Nggak perlu takut cerita hal-hal yang tadinya gak pernah bisa aku ceritain ke orang lain. Sama kamu aku bisa ketawa ngakak selepas mungkin karena bahan canda dan leluconnya nyambung.

Dan tanpa direncanakan, tumbuh benih harapan dalam bentuk pertanyaan. Pertanyaan yang menjelma penantian panjang yang gak jelas sama sekali. Dan itu yang buat pertemanan yang awalnya erat jadi punya jarak. Karena aku nyaman. Nyaman yang terlalu aku tinggikan sampai akhirnya menjelma menjadi kenyamanan yang mematahkan. Duh, emang gak semua rasa nyaman itu aman, ya.

Aku terlalu menyukai pertemanan ini yang apa adanya. Jadi ketika kamu bilang gak seharusnya aku bawa perasaan dalam pertemanan, itu aku gak terima, ya. Karena ketika ada seseorang yang menyayangi kita, itu bukan salah mereka kalau mereka gak bisa mengatasinya. Karena perasaan punya kuasanya sendiri. Tapi gak tahu sih sama kamu, aku tahu kamu udah kebal dengan banyak perasaan. Tapi yang perlu kamu tahu, di balik sifatku yang sarkastis aku juga perempuan yang memiliki sifat melankolis apalagi didukung jati diriku yang kental akan hal-hal puitis dan terlanjur mengartikan prakatamu sebagai ikrar maha hiperbolis, duh jadi miris.

Cuma perasaan 'kan emang diciptakan untuk merasakan. Jadi mengapa kita harus susah payah menipu diri sendiri? Perasaan punya hak untuk berekspresi. Jadi kalau gak bisa nerima, paling nggak, bisa menghargai. Bahwa memberi tanpa menerima balasan adalah pelajaran yang gak bisa didapatkan dari mana pun kecuali kasih sayang. Karena kasih sayang bukanlah tentang memiliki. Tapi melihat seseorang yang disayang bisa berbahagia. Itu saja.

Tapi ternyata kamu gak bisa menerimanya dengan baik.

Harusnya aku yang marah, aku yang pergi, aku yang kecewa, tapi lagi-lagi kamu yang paling egois.

Ya, aku bisa apa sih, kalau Tuhan bilang 'enggak'?  Enggak di kamu jawabannya.

Tapi setidaknya penolakan dan perpisahan ini membuatku mengerti ke mana arah langkahku ke depannya. Untuk gak ada lagi kamu dalam setiap rencana. Gak ada lagi kamu yang selalu menjadi alasan bahagia. Gak ada lagi kamu yang menjadi alasan mengapa pertemuan menjadi momen perayaan paling mahal. Bahkan sekarang untuk ketemu aja rasanya berat, rasanya melelahkan, rasanya sulit untuk melihat kamu ada di depan mata tapi tanpa sapa.

Dulu, setiap mau ketemu kamu itu deg-degannya udah terasa dari jauh-jauh hari. Aroma kemewahan udah tercium jauh-jauh waktu. Tapi sekarang, semua udah buat aku muak dan capek. Sampai rasanya pengen pindah kelas aja biar gak ketemu kamu. Rasanya pengen cepet lulus biar bener-bener bisa lupain perasaan ini dan cepet ketemu orang baru.

Duh, kenapa jadi gini sih?
Kenapa jawaban yang kamu kasih harus dengan menjadi angkuh dan asing?

Aku pernah kenal kamu, kamu yang hangat dan menyenangkan. Dan jujur, aku kangen. Kangen yang rasanya mau nangis aja udah gak bisa. Udah terlalu capek.

Sejak awal aku juga sudah tahu bahwa jawabannya 'tidak'.

Kita gak mungkin.

Cuma meski gak mengagetkan bukan berarti aku baik-baik saja. Persiapanku ternyata tidak sepenuhnya siap. Aku gak siap untuk gak lagi butuh kamu. Tapi itu harus. Aku harus butuh untuk gak butuh kamu lagi.

Aku gak siap untuk gak mengikutsertakan kamu dalam setiap rencana. Tapi itu harus, ya. Harus. Karena kita sudah tidak bisa lagi direncanakan. Kamu gak bisa lagi diharapkan. Aku gak bisa lagi berharap.

Ternyata cerita ini selesai tanpa pernah dimulai...

***

#Obituari Hati

Selasa, 16 Agustus 2022
06.05 WIB

(GANIA20)

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang