Jenaka Laku Semesta

20 2 0
                                    

Semesta lucu. Jenaka sekali tingkahnya. Ia selalu punya rencana-rencana tak terduga. Kita yang sudah sangat lama tidak saling sapa, pura-pura lupa, saling membelakangi dan menjauhi, hari ini terjebak untuk akrab kembali.

Aneh, canggung, awkward.
Teman-teman sengaja menyatukan kita untuk mengerjakan proker lalu mereka bercie-cie ria. Menyebalkan.

Entah apa maksud semesta dengan lakunya hari ini.

Semarah-marahnya aku, nyatanya tidak benar-benar bisa marah. Sekecewa-kecewanya aku, nyatanya laku kangen lebih dominan. Jujur saja, ada gema senang yang menyeruak saat garis kita kembali berkelindan.

Banyak orang yang mengatakan kamu begini, kamu begitu, bla bla bla, semua itu tetap tidak bisa menggeser sedikit pun koordinatmu di hatiku.

Aku tidak tahu mengapa perasaanku sekeras kepala begini. Perasaan ini anehnya tetap tumbuh kian hebat untuk kamu yang dulu. Ia kerap merengek mencari-cari sang tuan. Aku mesti menenangkannya berkali-kali dan mengatakan jika ia papa sekarang.

Tapi perasaan ini anehnya sudah berhenti untuk kamu yang sekarang. Rasanya aneh saja, tuan. Hambar. Tidak ada lagi aroma mewah dan denyut nakal. Namun, perasaan ini tetap pekat untuk kamu yang dulu dekat. Aneh, bukan?

Sejak dulu, sejak pertama tumbuh kembangnya perasaan ini aku mesti menafsirkannya berkali-kali. Seringkali terlalu banyak tafsir hingga menghasilkan gusar yang tak sudah-sudah. Sederhana kelihatannya, rumit kenyataannya.

Ada beberapa teman yang bilang kamu kurang diterima dengan baik oleh mereka. Padahal, hai tuan, di bumiku kamu selalu diterima penuh kasih sampai kamu lebih mengenali itu dibanding diriku sendiri. Di bumiku, bahkan buruk celamu tetap menjadi bahan bakarku melancarkan ide. Apapun darimu tidak pernah sia-sia, sekalipun lusinan bom luka.

Sudah lama sekali rasanya kita tidak mengelilingi kota, apalagi gerimis-gerimis begini. Jok belakangmu pernah menjadi singgasana paling aku dambakan dengan panorama punggungmu yang membuatku merasa kaya akan perasaan. Di belakang tubuhmu rasanya aku ingin bertanya: "Hai tuan, adakah kau tahu aku kerap menangisimu?"

Parfummu ganti. Bagus. Itu tidak akan membuatku menjelajahi waktu terlalu jauh. Karena bahaya sekali untuk jarak sedekat ini bagi dasar kerentananku. Kita seperti dipaksa nostalgia seperti November tahun lalu yang saat itu kita mencari alamat Komting untuk mengumpulkan tugas, sedang sekarang kita mencari alamat untuk sensus penduduk sebagai eksekusi proker KKN.

Ingin sekali aku berkata momen ini persis seperti tahun lalu, sayangnya aku tidak punya cukup nyali untuk mengatakan hal-hal lalu.

Biarlah semua mengalir sealami mungkin, tuan. Entah menuju atau menjauhimu, biarkan semesta ikut andil menentukan peluang. Kita biar saja seperti ini, kembali pada perjalanan masing-masing.

Untuk sekarang, bisakah aku katakan: "Sampai jumpa, tuan?"

Jaga diri baik-baik. Temukan bahagiamu yang lebih hebat. Sebab tidak ada lagi aku yang akan peduli kepadamu melebihi kepada diriku sendiri. Karena sekarang, aku akan lebih memperhatikan diriku sendiri, tuan. Aku akan berusaha senang dari sebab-sebab yang bukan kamu. Aku akan berusaha nyaman dari arah-arah yang bukan kamu. Aku akan berusaha melangkah meski tidak lagi menuju kubu-kubumu.

Karena kita tidak bisa lama-lama. Tidak boleh. Aku mesti pulang. Aku harus pulang atau aku akan berpulang…

Sampai jumpa, tuan.
Jika 'kita' masih punya masa.
#A.

***

#Sepulang KKN

Sabtu, 26/11/22
16.39 WIB

(GANIA20)

Write, 01.26 WIB

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang