Tidak Ada Kita Sore Ini

42 4 1
                                    

Tidak ada percakapan sore ini.
Tidak ada tawa, tidak ada basa-basi, tatap mata, kehangatan yang diam-diam tumbuh di dada atau bahkan jalan berdua selepas pulang kuliah seperti biasanya.

Aku membiarkanmu tertawa pada konsonan apa saja yang kau dan teman-teman bicarakan di bangku taman. Sedang dari tempat jauh yang tersembunyi ini aku diam dalam kesendirian berusaha menundukkan hasrat yang ingin mengikat kau sebagai tuan.

Kau tampak tertawa, ikut menghidupi suasana, dan bicara ramai tentang apa saja seolah tanpaku pun tetap kau dapati bahagia. Sedang dari sisi yang lain, di sini aku memilih menjalankan saran dari seorang teman dengan menyiasati misi penyelamatan hati yang dihidupi ragam anomali.
Sebelum pada akhirnya menghampiri kau dan yang lainnya.

Aku berusaha mengikat kuat-kuat pertahananku. Aku telah menyiapkan banyak bekal yang semoga cukup sampai pulang.

Mungkin sore ini aku tak ada bedanya dengan tiang, daun, lantai, meja, kursi dan segala jenis benda mati yang memilih diam di tempat. Sore ini aku menjadi asing. Dan bukankah di semestamu aku memang seorang asing yang terlampau peduli?

Seperti sore ini, meski sekian kali kau abai namun atas dasar rasa peduli yang ngeyelnya luar biasa aku membawa bunga mawar juga melati dari halaman rumahku yang kutaruh secara sembunyi-sembunyi di saku sepada motormu. Sejauh dan sekeras apa pun usahaku untuk tak acuh, aku tak pernah bisa.

Setidaknya aku ingin kau menerima rasa peduli ini. Rasa peduli yang tak munafik sesekali ingin kau balas hingga tak menjadi satu arah yang terus memberi; meski kenyataannya ia selalu berdiri sendiri.

Aku tidak bisa untuk terlalu dekat denganmu. Aku tidak bisa. Aku tidak baik-baik saja. Tawaku tak sehebat itu ternyata. Aku tidak sehebat itu. Aku lelah. Izinkan aku istirahat sore ini. Meski aku tahu, kau tak akan mengenali perubahan sikap dariku. Kau tak akan memikirkannya, kau tak akan menyadarinya. Atau jika tahu, kau pun tak berbuat apa-apa sebab aku bukan apa-apa.

Tapi tolong terima bunga ini. Bawa ia pulang. Meski berakhir kau buang, kau lupakan atau jika kau mau sedikit berbaik hati taruhlah bunga itu dalam vas berisi air yang cukup. Jangan berlebihan, ia bisa tumpah lalu membasahi bagian-bagian tak bersalah. Jangan juga terlalu sedikit, ia butuh air yang cukup untuk kembali segar meski pada akhirnya ia harus gugur namun setidaknya ia pernah merasakan indahnya bermalam denganmu.

Bunga yang kuberikan sore ini memang tak sesegar beberapa waktu lalu. Bunga ini layu dan menjelang gugur, kelopak-kelopaknya mulai berjatuhan satu persatu. Namun setidaknya bunga itu merasakan akhir mekarnya di tanganmu. Setidaknya bunga itu tidak gugur sia-sia. Ia berani menunjukkan wujudnya dan menyebarkan aromanya di seisi ruanganmu. Tidak sepertiku yang selalu bersembunyi dalam diam dan dengan pecundang selalu menitipkan perasaan sayang pada kepedulian yang tak pernah berbalik arah.

Aku tahu kau baik-baik saja.
Aku tahu tanpaku pun kau tak apa-apa.
Dari itu, seolah-olah aku menjadi yang paling terluka untuk kau yang tuli akan suara rasa yang kupunya.

Rasanya kadang aku ingin menghilang dari semestamu. Seolah lebih baik menjadi tumbal sepi dibanding memilih fatamorgana bahagia dari semestamu yang mau berusaha sekeras apa pun tetap tak mampu aku tembus.

Dengan sadar aku tahu, siapa aku untukmu. Aku tahu kau bisa tanpaku. Aku hanya menu pelengkap di piringmu yang tak ada pun tak apa masih ada menu lain yang memberimu rasa kenyang dengan cukup.

Aku bertanya kepada teman yang selalu setia mendengar ceritaku, "Apa jika aku memilih misi penyelamatan hati itu berarti aku menyia-nyiakanmu?"

Tidak, katanya.
Justru dengan diam dan menunggu rasa ini berbalas aku sama saja dengan menyia-nyiakan diriku sendiri. Katanya, aku memang mesti menempuh misi penyelamatan hati ini demi kesehatan serta kewarasanku sendiri.

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang