Ketulusan Mana Lagi Yang Kau Dustakan?

29 5 1
                                    

Aku merindukan sosokmu di kala susah.
Kala kau mencariku dan selalu membagi segala sesuatu yang hidup di kepalamu.
Kala deretan cerita dari kejujuranmu bukanlah perihal yang mahal.
Kala kita masih berbalas pesan hingga puluhan.

Aku rindu kau cari.

Aku rindu kau butuhkan.

Aku rindu kau bagi kabar.

Kala itu duniamu memalingkan muka, segala sesuatu terasa sulit diatasi, sampai kau ingin melambaikan tangan pada sorot kamera yang mungkin bisa menghentikan itu semua.

Kala itu seolah aku yang terdekat.
Kala itu seolah hanya aku yang mampu memahamimu dengan teramat hebat.

Kau memberiku banyak pembelajaran dari garis hidupmu yang kelewat brutal.

Kuakui kau teramat tangguh.
Manusia tangguh yang pernah kutemui.
Manusia yang gemar tertawa meski tengah dihujam luka.
Manusia yang selalu menyederhanakan bahagia.
Manusia yang mampu berdiri tinggi-tinggi padahal semesta telah membuatmu mati sendi.

Kala itu aku pernah berkata, "Aku takut jika kau sudah bertemu bahagia, kau akan terbang tinggi, tak terjangkau, asing dan tak terlihat dari bumiku lagi."

Katamu, "Kau akan tetap menjadi kau. Tak akan berubah. Kau akan tetap menjadi sosok seperti yang kukenal."

Lalu...

Bagaimana jika kukatakan bahwa dari itu semua ada sesuatu yang menyelinap masuk dalam rongga dadaku; perlahan namun terus tumbuh dan susah dikendalikan.

Siapa menghendaki rasa?

Kini kau sudah bertemu dengan titik terang dalam hidupmu. Kau mulai menapaki bahagia. Mendung perlahan menyingkir bersamaan denganku yang tersingkir.

Kau menjadi jarang berbagi isi kepala.
Aku tidak tahu kontak nama siapa yang kini sering kau hubungi saat kau sesak dada.
Atau memang awan hitam itu sudah benar-benar tiada dan semesta menghadiahkan kesabaranmu dengan cerahnya angkasa?

Kau memang masih kau, tak berubah; kecuali perasaanku yang semakin tumbuh mengakar sendirian dan mengartikanmu yang bukan-bukan.

Aku yang seringkali mengacuhkan pesan sebab kala tak kau balas aku akan kehilangan kendali dan kehabisan waras.
Aku ingin menjaga diriku.

Kadang aku ingin kau cari, kau tanyakan, kau hubungi duluan. Namun semua inginku tak lebih dari kemustahilan.

Meski aku tak acuh sebenarnya kepala ini tak pernah mau diam. Berisik mencarimu, menanyakanmu, menuntut kewarasanku untuk menemuimu.

Sedang kau selalu sibuk, bukan?

Katamu, aku manusia paling tulus yang pernah kau temui. Aku manusia yang terbaik dalam memahamimu.

Haruskah hal itu juga masuk dalam konteks ini?
Menjadi tulus untuk merelakanmu bahagia, serta terbaik dalam memahamimu bahwa kau berhak mendapatkan bahagia.

Lalu, haruskah dengan menghunus dan berlalu pergi meninggalkanku padahal perasaan ini baru mulai tumbuh?

Aku tidak bisa menjadi tulus dan terbaik jika kau bahagia dengan deretan perempuan yang mengelilingimu.

Jika melihatmu bahagia adalah doa yang kusebut berulang-ulang maka adanya perempuan lain yang menjadi dasar bahagiamu itu tidak masuk dalam perjanjian.

Sungguh, aku ingin menuntutmu pada Tuhan alangkah maha terkutuknya kau karena tak membalas perasaan.

Denganku apa belum cukup bagimu?

"Aku takut kau pergi. Aku takut kehilangan untuk sekian kali. Mengapa tak ada yang abadi? Bisakah kau tidak pergi?"

"Tapi semua orang harus pergi. Kita harus dituntut siap kapan saja. Bahkan ayahku saja pergi; untuk selama-lamanya. Kita semua akan pergi. Entah cepat atau lambat. Dengan cara berbeda. Dengan kesan berbeda."

"Jadi kau juga akan pergi?"

"...."

Hening.

Aku takut.

Bisakah kau tidak pergi?
Namun jawabanmu membuatku kalah telak.

Maka untuk membuatmu terus mengingatku aku kepalang kabut menanam beraneka macam bunga di dekat nisan yang selalu setia kau kunjungi saban kamis sore.
Semoga kau selalu melihatku melalui bunga yang mulai tumbuh; yang ruas-ruasnya saling berlomba dengan tumbuhnya perasaanku.

Pada bunga yang kutanam, ada perasaan yang aku ikut sertakan.
Semoga ia senantiasa mengindahkanmu meski tak kau indahkan.

Tidakkah kau lihat peduliku dari sisi lain?
Tidakkah kau lihat apa makna dari segala peduliku?
Tidakkah kau merasa?

Apa maknanya tak terpampang nyata?
Apa aku harus berteriak lantang agar kau tahu kebenarannya?

Jika tak ada jalan berdua, jika tak ada hujan yang membuat kita basah bersama, jika tak ada peluk yang pada akhirnya menguasai dada, jika tak ada kontak intens mata, jika tak ada telinga yang mendengarmu dengan lugunya, atau bahkan jika kita tak pernah kenal sejak kali pertama. Mungkinkah aku akan jauh lebih baik-baik saja?

Namun karenamulah aku mengerti makna dewasa juga mampu menjalani hidup dengan lebih baik dari sebelumnya.

Aku tidak tahu bagaimana kelajutannya, terlalu mengerikan untuk dipikirkan.

Aku ingin kau yang tak ingin aku.

Namun dengan sadar aku tahu, kau pantas untuk semua bahagiamu atas seluruh perjalanan sulit yang sudah kau tempuh.

Berbahagialah...

Kau berhak mendapatkan itu semua.

Aku tidak akan mengganggumu atau merengek meminta belas kasihan.
Perasaan ini tanggung jawabku.
Aku akan menyembunyikannya dengan lebih rapi lagi.

Biarlah ucapan sayang terganti dengan kepedulian-kepedulian yang selalu aku upayakan. Rindu terganti dengan sajak-sajak yang mengurangi sedikit sesak. Harapan-harapan terganti dengan aroma kelopak mawar yang senantiasa aku persembahkan.
Dan rapalan cinta terganti dengan doa-doa yang kubacakan di pemakaman.

Aku menyayangimu dari rasa peduli yang tak terelakkan, tak bisa dihentikan, tentangmu selalu utama di perasaan.

Karena cinta tak bisa dipaksakan, aku tak pernah menuntut kau untuk mencintaiku maka bebaskan aku untuk terus menaruh rasa padamu.

Selamat berbahagia atas hidupmu...

Izinkan kepadamu kini aku masih mengucap sayang sampai nanti dengan sendirinya berganti usang.

Maka, ketulusan mana lagi yang kau dustakan?

***

#Pemakaman Nurani

Sabtu, 22 Januari 2022

09.20 WIB

(GANIA20)


Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang