Judulnya Belum Ada

11 5 41
                                    

Akhir-akhir ini saya sedang sibuk menggarap Novel.

Berangkat dari rasa lelah saya menunggu teman Novelis saya yang lama sekali update cerita yang terinspirasi dari kisah saya dengan kamu. Iya, kisah kita. Kisah yang mungkin menurut kamu singkat, namun sangat berarti untuk saya. Saya akui tulisan dia luar biasa. Diksi-diksi dia terukir mewah. Namun setelah 3 part, dia lama sekali tidak melanjutkan. Saya masih sabar menunggu, berharap-harap cemas agar dia menyelesaikannya. Saya pantau dari media sosialnya, dia sibuk mengerjakan proyek lain yang mungkin mengenyampingkan janji dia terhadap saya untuk mengangkat kisah dari saya seusai bercerita panjang lebar tentang kamu.

Iya, saya menceritakan kamu padanya. Atau lebih tepatnya menceritakan perasaan saya mengenai kamu.

Dia sangat kagum dengan nilai-nilai yang kamu pegang dalam memandang hidup. Kamu ibrah yang amat luar biasa. Pandangan-pandangan kamu terhadap hidup terlalu berharga jika hanya kamu simpan dalam kepala. Dengan bangganya dia mengatakan, kamu harus dikenal dunia.

Dalam cerita itu, kamu bernama Agendra Bagaswara. Lelaki tangguh yang dalam dirinya bersemayam dewa-dewa. Saya sudah sangat jatuh cinta dengan tokoh itu. Namanya indah. Cukup untuk mewakili sosok kamu yang tangguh lagi bersahaja.

Teman Novelis saya pernah mengatakan bahwa menulis novel sensasinya akan berbeda dari tulisan-tulisan saya sebelumnya. Awalnya dia menyarankan agar saya sendiri yang menuangkan kisah saya menjadi novel. Namun, karena rasa malas dan saya yang awam, saya memasrahkan kisah ini padanya. Itung-itung saya curhat dan dia kembangkan dalam sebuah tulisan nan indah.

Namun, menunggu ternyata amat melelahkan. Saya tidak sabar, dan saya menemukan tulisan Boy Candra yang benar-benar menampar saya. Begini, "Tidak mau latihan. Tidak mau berusaha sedikit lebih keras. Hanya menunggu keajaiban. Percuma punya bakat menulis, kalau pemalas. Tidak mau membaca tulisan orang lain, yang kemudian mempelajari polanya. Tidak mau latihan menulis. Tidak mau melatih diri mengembangkan kemampuan bercerita. Meski punya bakat menulis, kamu tidak akan pernah jadi penulis. Dan hal-hal lainnya. Tidak akan pernah kamu capai, kalau memang tidak pernah diusahakan."

Tulisan luar biasa yang menampar saya sampai pangkal ubun-ubun. Maka, baik, saya menerobos batas santai saya. Saya harus bergerak. Saya harus menulis. Meski tulisan saya belum seluar biasa teman Novelis saya, tapi perasaan ini milik saya. Kisah ini ada di tangan saya. Saya memutuskan menulis sebelum keberadaan kamu benar-benar habis. Saya harus menulis.

Maka sore itu pula, setelah saya tertampar tulisan Boy Candra, saya mengetik pesan di group kepenulisan untuk bertanya langkah apa saja yang perlu diperhatikan dalam menulis novel. Tidak lama kemudian, mereka menjawab pertanyaan saya sampai ke detail yang masih awam bagi saya. Mereka baik, mereka menyuntikkan rasa percaya diri kepada saya untuk mampu. Maka saya putuskan detik itu juga untuk berusaha menulis.

Belum ada judul di cerita yang mulai saya garap. Saya masih bimbang. Kamu tahu sendiri saya ini mudah dilema. Apalagi jika itu bersangkutpautan dengan kamu.

Di tulisan saya yang belum ada judul itu saya merubah nama kamu, Gian Wirasana.

Entah nama itu akan berakhir sampai ending atau bertahan sebentar, namun di detik ini saya menyukai nama itu. Nama pengganti dari Agendra Bagaswara. Nama samaran kamu.

Detik ini, tulisan saya sampai pada fragmen saat ada lelaki berkelakuan absurd di group kelas yang menarik untuk diperhatikan. Lelaki yang membuat saya penasaran dan ingin mencari tahu tentangnya tepat setelah ia mulai aktif membalas chat di group. Iya, memang momen yang masih sangat awal. Kamu memang menarik hati saya sejak awal.

Tabuhan jokes-jokes kamu membuat saya merasa memiliki kedekatan tersendiri. Kamu seperti wujud reinkernasi dari sahabat-sahabat saya yang telah krisis eksistensi. Dengan girangnya saya berani mengatakan, akhirnya saya menemukan sosok sefrekuensi yang menyuntikkan saya gairah hidup kembali. Detik itu juga, tanpa pikir panjang dan tanpa sepengetahuanmu sampai saat ini, saya mengakui, saya suka kamu. Saya suka kamu Gian Wirasana. Saya menyukaimu.

Hingga saat itu, 20 Januari 2020, pukul 16.27 wib, saya akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk menghubungi kamu lebih dulu dengan dalih bertanya soal pembayaran biaya kampus. Padahal di balik pertanyaan itu saya ingin sekali mengenal kamu lebih dekat. Di balik pesan itu saya menahan hasrat saya yang sudah membludak ingin bertanya hal-hal tentang kamu.

Hingga detik bergulir menit, jam, bulan, tahun yang memberi saya kesempatan untuk bertemu kamu beberapa kali dan kenal kamu lebih intens. Ternyata benar 'kan insting saya bahwa kita memang sefrekuensi. Tidak sulit untuk kita saling beradaptasi. Seperti katamu, kamu seperti bongkahan es dan saya sekantong minuman serbuk yang saling melengkapi jika beradu satu. Kamu kerapkali mengakui rasa senang tatkala bertemu saya. Kamu bersyukur menemukan saya. Kita kerap berbagi cerita. Kamu pendengar saya yang sangat baik.

Jujur, saya kaget karena dalam waktu singkat saya mendapat kepercayaan yang begitu tinggi untuk menjadi rumah bagi setiap keluh kesahmu. Kamu begitu terbuka kepada saya. Bahkan, untuk hal-hal sensitif sekali pun. Saya tidak mengira kalau kamu, manusia paling humoris, ternyata tengah bertaruh dengan paket penderitaan yang begitu kelam. Kamu berhasil menyimpan pelik yang kamu derita itu sampai bertahun-tahun dan baru kamu bagi beban itu secara rinci tatkala bertemu saya.

Saya sangat senang ketika kamu mau bercerita kepada saya. Dari hal itu saya merasa berharga. Perasaan senang ini pun bermetaforsa menjadi suka dalam muara sayang paling sunyi. Saya tidak yakin menyebut ini cinta. Ah, bahkan saya lupa bagaimana cara cinta bekerja. Yang jelas, di sisi kamu saya merasa pulang. Saya merasa hangat saat menatap kamu. Beban-beban saya rasanya lepas landas saat kamu tertawa riang karena ulah saya. Saya sangat suka membuat kamu tertawa. Gemuruh yang membuat hati saya terpaut.

Dan, semakin saya peduli, semakin pula hati saya terikat lebih dalam. Saya senang ketika kamu senang, saya terpukul ketika kamu sedih, dan saya tidak terima tatkala kamu mulai menghilang, menutup diri dari saya, memblokade akses saya dari posisi saya yang sebelumnya.

Maka sebelum kamu, sang bongkahan es yang perlahan mencair, saya, sekantong minuman serbuk, memilih mengabadikan kesempatan saya mengenal kamu. Saya memutuskan untuk menulis momen-momen berharga saya saat bersama kamu dalam sebuah novel yang judulnya belum ada.

Saya menikmati menulis, sebab itu satu-satunya cara saya merawat bentuk sayang dalam kesendirian.

Saya sayang kamu. Jelas, saya ingin kamu. Namun, semakin besar keinginan saya, semakin hebat pula cara kamu menolak saya.

Jika peduli adalah satu-satunya rasa yang bisa kamu terima. Maka, melalui kepedulian yang terkadang terkesan berlebih dan sering kamu pertanyakan itu rasa saya akan senantiasa tumbuh tersirat.

Saya tidak berusaha mematikan perasaan saya terhadap kamu. Sebab pernah suatu ketika saya ingin membunuh perasaan ini secara paksa, semakin pula saya tidak terkendali oleh kuasa sayang yang semakin menyakiti diri saya. Maka, saya biarkan rasa ini tumbuh. Saya belajar mengakuinya. Saya belajar merawatnya. Saya belajar menghidupinya tanpa sepengetahuan kamu.

****

#Menulis, berpacu dengan kamu yang perlahan habis.

Senin, 6/6/22
23.02 wib

(GANIA20)

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang