Perlahan Pudar(?)

8 1 0
                                    

Perasaanku habis.

Perlahan pudar,

Atau?

Aku yang terus menyangkal?

Entah...

Namun, rasanya malam ini biasa saja.

Kau bukan lagi sesuatu yang kupandang secara hiperbola.~meski tidak tahu bagaimana ke depannya.

Senyummu yang selalu aku tinggikan itu, yang selalu membuatku menolak untuk pulang karena bersamamulah sejatinya aku merasa pulang, malam ini entah bagaimana rasanya biasa saja.

Tidak ada debar saat mata kita saling beradu, saat tubuh kita erat, pun saat aku duduk di singgasana sederhana yang membuatku menjadi manusia paling bahagia.~ jok motormu, dengan pemandangan punggungmu.

Tidak ada sedih saat aku harus pulang.
Saat aku tiba di lampu merah; perbatasan semesta kita, semestaku yang hening dan semestamu yang dipenuhi hiruk pikuk paling nyaring.

Rindu yang biasanya langsung muncul saat kau membunyikan klakson sebagai salam saat kita mulai berlainan arah, malam ini entah ke mana rupanya.

Aku biasa saja.

Aku

Biasa

Saja

A-

Ku

Bi-

A-

Sa

Sa-

Ja

Atau, memang aku sudah mahir menipu perasaanku untuk menjadi biasa saja?

Malam ini, aku mungkin terkesan memaksa mengajakmu keluar. Ah, bukankah selama ini memang aku yang selalu meminta waktumu?

Saat kita kebingungan mencari tempat parkir untuk sepeda motorku,  kau bilang,  "Bawa saja, jangan parkir sembarangan. Takutnya nanti hilang."

Aku menolak. Siasatku tidak boleh gagal. Misiku memastikan perasaan harus bisa berjalan malam ini juga. Aku harus mencari jawaban. Pasalnya; apa, kenapa,  bagaimana, dan deret pertanyaan lainnya tidak hanya sehari dua hari memecahkan ketenanganku. Kemungkinan-kemungkinan yang tidak akan jadi mungkin meledak dalam waras paling kikir.

Aku harus mendapat jawaban.
Aku harus mendapat jawaban malam ini.

Akhirnya aku menitipkan sepeda motorku di kampus, padahal satpamnya sudah hendak pulang. Setelah bernegoisasi, akhirnya beliau mengizinkan aku menitipkan sepeda motor dengan syarat agar tidak terlalu lama dan besok tidak diulangi lagi. ~Ah, maaf pak satpam, maaf merepotkan. Padahal mungkin, anak istri sudah menunggumu dan engkau ingin segera rebah, apalagi bumi sedang hujan.

Hujan?

Bicara tentang hujan, aku sangat suka momen-momen saat kita kehujanan.

Aku suka kehujanan bersamamu.

Dingin di badan, namun selalu berhasil memenuhi hangat di perasaan.

Menurutku, hujan maha hebat dalam meromantisasi kisah. Tapi, entah kenapa malam ini rasanya berbeda. Ke mana kiranya debar maha dahsyat saat aku bersamamu?

Mungkinkah benar-benar pudar? Atau sudah terganti sungkan karena saking lamanya kita tidak berbincang?

Tapi, bukankah selama ini memang seperti itu. Kita jarang bertemu, namun saat bertemu aku langsung menghambur ke pelukanmu.

Kenapa sekarang rasanya biasa saja?

Apa karena kau sudah membuatku terbiasa sendiri?  Atau perasaanku yang telah letih berdiri sendiri?

Pasalnya, aku mengenal debar itu. Aku mengenalnya. Aku mengenal perasaanku. Debar maha girang yang susah dinetralisir setiap bertemu empunya. Perasaan 'klik' yang denganmu aku langsung merasa pulang.

Ke mana rupanya?

Ke mana debar itu?

Sebenarnya siapa yang berubah? Kau? Atau perasaanku?

Sebuah tanda tanya yang besar.

Secepat ini?

Secepat ini semesta mengembalikan perasaanku?

Ada bagian dari diriku yang sedikit sedih karena aku belum sempat mengucapkan salam perpisahan dengan kita yang sebelumnya.

Namun, bukankah ini yang selalu aku harapkan? Menjadi biasa saja. Sebab jatuh cinta sepihak adalah seni mematahkan hati dengan cara paling sempurna.

Apakah benar perasaanku pergi secepat itu?

Atau memang karena sudah lama kita tidak intens dan aku merasa sungkan?

Lalu ke mana aku akan merasa pulang?

Apa semesta sudah mengembalikan perasaanku dan menginginkan aku pulang ke rumah yang benar-benar rumah?  Rumahku. Rumah yang berisi bapak, ibu, adik, dan nenek. Mereka yang seharusnya menjadi prioritas dari perasaanku. Mereka yang sebenar-benarnya rumah.

Apa semesta sudah mengembalikanku ke garis seharusnya? 

Jika memang begitu, aku akan mengambil kesempatan ini dengan lebih baik.

Menghargai keluarga,

Menyayangi meraka,

Menempatkan perhatian juga peduliku pada prioritas yang semestinya.

***

#Kembali pada garis 'seharusnya'

Jumat, 17/06/22
21.36 wib

(GANIA20)

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang