Pentingnya rehat dari Medsos

119 31 372
                                    

Di part kali ini, mungkin saya tidak akan menggunakan diksi-diksi berat/bahasa-bahasa yang terlalu tinggi.

Saya hanya ingin bercerita dengan sederhana.

Sebelumnya, terima kasih untuk yang sudah berkunjung di rumah ini.

Ya, karena bagiku, Anak Waktu ini adalah rumah bagi setiap perasaan yang tak tahu harus dibawa ke mana, dan mungkin tidak bisa diceritakan secara langsung.

Kali ini, saya ingin membahas tentang, "Pentingnya rehat dari Medsos."

Menurutku, media sosial bisa menjadi racun.
Membuat beban hidup yang tengah dialami, berkali-kali lipat menjadi lebih berat.

Saya mengerti, setiap orang memiliki self control-nya sendiri-sendiri.
Dan menurutku, mengontrol penggunaan medsos adalah suatu keharusan.

Media sosial yang menurutku paling toxic adalah WhatsApp.
Ini bukan karena aplikasinya, tapi hanya sekadar pandangan subyektif.
Sekali lagi, ini bukan karena aplikasinya.

Karena kenyataannya, di era globalisasi ini, WhatsApp adalah aplikasi paling canggih, paling moderat dan mudah digunakan.

(Jika memang WhatstApp aplikasi mudah dan moderat, kenapa pesan-pesan kita tak lagi bermunculan? Apa jangan-jangan kamu seorang primitif yang ketinggalan zaman?) #Plak! (tamparan kenyataan) Aw! Makanya jangan ngaco, Thor! Oke. Maaf, saya jadi ke mana-mana.

Lanjut lagi...

Karena pengalaman pribadi, sering merasa cemas jika terlalu over mengecek media sosial satu ini.

Mungkin karena WhatsApp bentuk aplikasi yang lebih privasi, di mana di dalamnya ada banyak orang yang dulunya sangat dekat kini menjadi asing.

Melihat teman-teman yang dulunya seperjuangan, kini sudah memiliki kesibukan di dunianya masing-masing.

Saya merasa jadi sangat-sangat kesepian. Dan mungkin setiap orang juga kesepian.

Tapi, kali ini, saya ingin bercerita tentang aku. Dan aku, ingin bercerita tentang saya. (Intinya, gitulah! Egois emang. Wkk)

Saya tidak ingin dikasihani, tapi saya akui, saya merasa benar-benar kesepian.

Keseharian hanya ada di rumah, melakukan kegiatan yang berulang-ulang; monoton.
Bertahun-tahun terjebak di keadaan yang sama.

Kadang aku begitu takut, bagaimana jika kesendirian ini tak menemui ujung?
Bagaimana jika aku akan selalu terjebak di sini?

Melihat ke depan rasanya begitu gamang.
Tapi, diri harus terus melangkah, meski pada arah yang tak berarah.

Rasanya segala sesuatu ini tak pasti.

Mustahil saya katakan saya baik-baik saja.

Kesendirian nyaris membuatku gila.

Aku butuh teman; dengan sangat.

Aku butuh seseorang untuk sekadar berbagi.

Sendiri memang tenang, tapi sendiri seringkali membuatku mengerang.

Sendiri memang mandiri, tapi sendiri benar-benar menyita kewarasan diri.

Ini melelahkan.

Jauh-jauh lebih melelahkan.

Sungguh, lelah tanpa tujuan dan terlalu banyak waktu luang benar-benar menyebalkan, dibanding lelah karena tugas pelajaran atau segala sesuatu pergerakan yang menyibukkan.

Sungguh, sudah habis akal untuk menghidupi keseharian.

Memangnya, dengan apa lagi waktu bisa dijalankan?

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang