Infeksi Afeksi

11 1 0
                                    

Dari lantai atas Caffe yang tersuguhkan pemandangan lalu lalang kendaraan di bawah sana, diperindah gemerlap langit malam, tiba-tiba topik pembicaraan mengarah ke sosok itu lagi yang membuat suasana indah ini berubah mengesalkan. Rencananya aku ingin mengistirahatkan diri dari memikirkannya. Aku ingin menikmati suasana baru; bersenang-senang dengan teman-teman lain. Tapi memang sosok-sosok di dekatku ini, lagi-lagi mengarahkan pembicaraan ke dia lagi.

"Dia teman yang menyenangkan,"
Ucap laki-laki yang duduk di hadapanku, ia teman Pram juga.

"Iya, dia 'teman' yang menyenangkan." aku menyesap getir.

"Dia kelahiran tahun berapa?" tanyanya lagi, seolah merasa aku paling tahu mengenai Pram.

Teman perempuan di sebelahku menimpali, "95, bukan?"

Aku yang ogah-ogahan membahas dia akhirnya menjawab, "Bukan, 96."

"Tepatnya 25 Mei, 1996." batinku.

Aku ingat satu tahun yang lalu, tepat sebulan setelah dia berulang tahun ke 25, bapaknya wafat. Aku ingat betul ketika dia menceritakan luka-lukanya saat menerima kenyataan bahwa ulang tahunnya kemarin adalah ulang tahun terakhir yang dia rayakan bersama bapaknya. Aku ingat betul, siang itu, ketika dia menemuiku beberapa hari setelah bapaknya wafat, dia menceritakan secara rinci kronologis tersebut aku bahkan merekam suaranya saat dia mengutarakan luka-lukanya itu. Aku juga ingat kejadian kelam yang dia alami beberapa waktu sebelum bapaknya meninggal beserta firasat-firasat yang muncul akan datangnya duka mendalam itu. Aku ingat semuanya, aku ingat.

Tapi apa gunanya? Bukan kebanggaan yang bisa membuatnya kembali 'kan? Tidak juga mampu menghadirkan kesempatan kedua 'kan? Haha... Bagaimana Tuan? Bisa? Ah, tidak ya? Ah, haha!!

"Berarti sekarang usia 26 ya dia?"

"Hmm.." aku sudah sangat malas menanggapi. Tapi sosok-sosok di dekatku ini masih saja membahasnya.

Iya, usianya memang sudah matang, sudah waktunya menikah.

Dan...

Dan bukan, dan tidak aku pilihannya.

Jadi, bisa tidak kita ganti topik obrolan?

Bahkan aku cemburu, Pram. Aku cemburu sejak tadi sosok laki-laki di hadapanku ini menceritakan keseruannya memiliki teman seperti kamu. Aku cemburu dengan kedekatan kalian. Karena aku, seseorang yang pernah kamu nyatakan sebagai sahabat terbaik yang pernah kamu miliki ini sudah tidak memiliki kesempatan itu lagi, Tuan. Jelas, aku cemburu!

Aku iri kamu bisa ngelakuin hal-hal seru sama orang lain. Perasaan ini gak adil, Pram. Cuma aku yang stuck. Aku ngerasa gak bisa seneng kalo gak sama kamu. Tapi kamu, kamu tetep have fun tanpa aku. Apakah semua bentuk peduliku benar-benar tidak menyisakan apa pun?

Ini gak adil.

Aku jadi ngerasa salah dan nyesel suka sama kamu. Karena perasaan ini mengakhiri persahabatan kita. Sesalah itu ya suka sama sahabat sendiri?

Andai aku gak suka kamu, mungkin kita masih seru ya? Andai aku gak punya perasaan, mungkin aku gak kehilangan ya? Tuh kan perandaian dan penghakiman lagi. Niatnya malam ini aku pengen buktiin kalau aku juga bisa seneng tanpa kamu, tapi lagi-lagi yang mereka bahas kamu, Pram.

"Rumah kamu deket Pram, Nin?" tanya sosok di hadapanku lagi.

"Enggak,"

"Kok biasanya bareng?"

Tuh 'kan, Pram. Pasti selalu gini. Kamu pernah juga gak sih ditanya orang lain tentang aku?

Aku males, Pram. Aku males ketika ada aku pasti orang-orang selalu nanyain kamu yang padahal aku sendiri juga gak tahu gimana kabar kamu sekarang.

"Si Pram, usil banget tahu, Nin. Apalagi pas di Bali kemarin, kan aku sama dia sekamar. Dia jahil, gangguin aku terus. Cuma dia anaknya seru banget."

Bisa gak sih? Bisa gak sih gak usah ninggiin dia lagi di hadapanku? Bisa gak sih gak usah bahas Pram?

Aku udah dari tadi berusaha tidak tertarik dengan obrolan ini, tapi mereka masih saja melanjutkannya. Ini aku curiga, jangan-jangan kamu yang nyuruh, Pram. 

Untuk denger nama kamu aja rasanya masih berat, apalagi ini denger cerita keseruan-keseruan tentang kamu. Cuma jadi rintangan dari rentetan proses move on yang lagi-lagi gagal.

Kamu hari ini ke mana? Kok gak kuliah? Lagi kerja? Gimana usaha JNT kamu? Makin sukses? ~Argh! Ngapain juga aku tanya soal kehidupan kamu sekarang.

Pram, jalanan malam Purwodadi cuma buat perasaanku makin kerontang. Ternyata aku tidak dan belum bisa baik-baik saja dengan segala yang lekat akan kamu.

Pram, aku bermimpi, di suatu nanti, kamu akan menyapaku kembali. Meski dengan perasaan kikuk, meski dengan keramahan baru yang terasa asing, meski dengan taraf keseruan yang berbeda.

Karena bagaimanapun kita pernah bahagia bersama.

Aku berharap kamu masih menyimpan memori tentang aku. Entah bagaimanapun bentuknya, entah di mana saja kamu meletakkannya. Jangan lupain aku gitu aja, Pram. Karena semati-matian itu aku berusaha memberimu kesan yang berbeda agar di memori kamu ingatan tentang aku memiliki nyala rupa dengan ciri khasnya.

***

#Tempias Kerontang

Sabtu, 5 November 2022

22.46 WIB

(GANIA20)


Aku yang terlalu hiperbola dan kau yang menjelma banyak metafora telah menghasilkan dialek-dialektika tanpa logika yang menjadikan kita sepasang asing dalam simpul hampa yang membuiku, Tuan.

Tanpa muara, renjana telah menjelma melankolia. Deretan kedai-kedai dan setiap inci jalanan kota mesti aku ayun dengan penuh wiweka. Namun rodra, genosida menciptakan banyak elegi dari aku yang mendamba afeksi. Seketika musnah seluruh usaha yang telah aku tuntun agar sampai pada harsa. Kenyataannya, jangankan harsa, bahkan  aku semakin larut akan mala.

Aku muak! Aku muak akan kau yang begitu reswara dalam setiap bincang yang ada dengan setiap sesiapa. Aku semakin rudira, jauh dari rucira, dinistakan sempena. Semesta, tidak bisakah weharima?

Aku,

Aku...

Aku celaka dalam romansa!

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang