Perasaan yang Hilang

20 1 0
                                    

Jumat, 17 Juni 2022
15.33 wib.

"Cvk, Purwodadi hujan nggak?"
tanyaku pada Gian, 45 menit sebelum aku berangkat ke kampus.

Sedari awal kenal kami memang sering memanggil "cvk", tidak pernah memanggil nama secara langsung. Terlalu aneh. Menggelikan.

Tidak lama kemudian,  Gian membalas pesanku, "Belum."

"Jangan bilang belum, semoga saja tidak hujan. Cvk, nanti kalau mau berangkat kabari ya. Oh iya cvk, kalau ketemu jangan tiba-tiba jadi gak kenal dan asing kayak kemarin donk, anjir ngeselin banget."

"Haha, udah aku bilang 'kan sebulan yang lalu itu emang lagi banyak pikiran."

"Iya-iya cvk, pantes aja waktu itu kamu terlihat kusut. Nanti jangan telat ya. Aku pengen ngobrol, udah lama kita gak ngobrol."

"Kamu berangkat jam berapa? Rumah kamu 'kan jauh harus nyebrang laut dulu, hehe."

Bukan Gian namanya jika tidak menyelipkan humor-humor ala dirinya dalam setiap obrolan. Bagaimana pun keadaannya dan tentang apa pun pembahasannya pasti suasana langsung cair dengan caranya. Bahkan berita tentang kematian bapaknya pun bisa dia ceritakan dengan santai ala dirinya. Bukan, bukan karena dia tidak sedih. Tapi karena aku tahu, humor adalah cara dia meringankan permasalahan. Dia manusia yang sangat menyenangkan, dan rasa senang itu yang justru membahayakan.

"Nunggu sholat asyar sekalian, mungkin jam 15.30. Oh ya cvk, slip pembayaranmu studi lapangan jangan lupa difoto copy."

"Emang harus difoto copy? Punyamu udah, cvk?"

"Aku enggak sih, kan slipku dari kampus jadi ada 4 lembar. Kalau slipmu kan langsung dari bank, cuma selembar kan? Nanti slipnya dikumpulin buat tanda bukti pembayaran. Kalau kamu kumpulkan nanti kamu gak punya bukti buat kamu simpan sendiri. Kita kan gak tahu apa yang akan terjadi di depan sana, bukankah lebih baik berjaga-jaga?"

Seperti perasaanku, Gian, yang tidak pernah tahu bagaimana ujungnya. Entah sekali saja akan kamu lihat dan bisa kamu rasakan, atau selamanya akan ada di tengah jalan, terinjak-injak kendaraan, tanpa kediaman.

"Oh iya, aku gak kepikiran. Ya udah nanti aku foto copy dulu."

"Nah, foto copy dulu. Baik hati 'kan aku, untung aku kasih tahu, hehe."

Bahkan Gian, aku tidak pernah bisa tidak peduli. Nggak bisa, Gian. Susah.

Jika kepedulian adalah satu-satunya rasa yang bisa kamu terima, maka izinkanlah.  Karena cuma itu yang bisa aku beri secara nyata. Yang lainnya gak bisa. Gak bisa, Gian. Harus sembunyi-sembunyi. Karena yang aku sukai perasaan ini. Bukan perasaan setelah kamu tolak.

Adzan asyar berkumandang, aku segera mandi, yang sebenarnya juga mengalihkan mataku untuk terus memandang kontak pesan Gian yang tidak kunjung membalas. Mungkin setelah aku mandi Gian sudah membalas, pikirku.

Sebenarnya aku sangat merindukan chat intens dengan lelaki satu ini. Kontak nomornya yang dulu selalu ada di baris paling atas, yang selalu penuh dengan puluhan pesan, yang membuatku harus sedikit sabar menunggu karena kadang dua hari baru dibalas, yang setiap satu balasan butuh waktu berjam-jam untuk mengetik karena saking banyaknya yang harus dibalas. Kadang sekali waktu bisa sampai 40 pesan lebih, dan itu bukan chat singkat melainkan selalu diiringi keterangan baca selengkapnya.

Anak WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang