Keputusan (41)

130 16 20
                                    

1 Tahun kemudian....

****ABRI POV****

Aku duduk di ruang tamu seseorang...
Seseorang yang sangat spesial.
Di dampingi oleh ibu dan ayah, aku di hadapkan oleh sebuah keluarga kecil.

Pak Harto...
Beliau pensiunan polisi dan istrinya, bu Halijah.
Di tengah-tengah mereka duduk seorang wanita yang tertunduk malu di hadapanku.

"nak Abri?"

"iya pak!"
Aku menyahut saat pak Harto menyebut namaku.

"sebagai teman almarhum pak Arsun, saya sangat senang kalau nak Abri bisa menjadi bagian dari keluarga kami"

Benar sekali...
Ini adalah acara lamaran.

.
.
.
.

2 minggu yang lalu....

Aku, Fahmi dan Wandi menghadiri pernikahan Andi.

"selamat ya ndi!"
Aku menjabat tangan Andi, kemudian juga istrinya.
Siapa istrinya?

"cie Yuli wkwkwkw"
Wandi menggoda Yuli yang terlihat berkeringat akibat beratnya konde pengantin di kepalanya.

"ka..kapan ini di lepas?"

"tahan yang, 2 jam lagi"
Kata Andi.

"ahhh kepalaku mau pecah!!!"

"ehehe ya sudah, kami permisi kalau begitu"

"eh iya iya, makan yang banyak ya!"
Sahut Andi saat kami bertiga menuruni panggung.

"cie Andi, nanti malam unboxing"

"paan sih mi?"

"bri?"
Aku bertemu ibuku di acara pernikahan ini.
Memang ibuku dan ayah Andi itu dulu satu kantor saat ibuku masih aktif menjadi pegawai di kantor desa.
Bersama Ayah, ibu menghampiriku.

"eh bri, kita makan duluan ya"
Fahmi dan Wandi lalu pergi ke meja prasmanan.

"Bri, ibu kira kamu tidak kesini"

"ah, mana mungkin bu, kan Andi temanku dari kecil"

"teman kecil...., tapi keduluan hehe"
Apa ini sindiran?
"dua kakakmu sudah menikah, kamu kapan nyusul nak?"
Ibu memegang pundakku.

Rasanya?
Uhhh
Stres seketika memuncak.

"bu, aku masih mau fokus kerja dulu, aku tidak ada waktu cari pasangan"
Jelasku.

"tidak perlu nak..."

"tante!"
Sahut suara seorang wanita.
Lalu seorang perempuan datang menghampiri kami.
"tante Ani, om Arif"
Dia mencium tangan ibu dan ayah.

"nah bri, ini Yusni"
Ibu memperkenalkan perempuan itu padaku.
Dia menatapku dan langsung menyapaku.
"kak Abri..."
Ucapnya dengan sopan.

"ini anaknya pak Harto, kamu ingat kan bri?, mantan wakil ketua almarhum bapak di persilatannya"

"i..iya bu"
Aku tidak tahu pak Harto punya anak...
Memang sih, terakhir itu aku bertemu beliau saat aku masih kelas 3 SMP

Lalu ayah berkata...
"ayah sama ibu sudah bicara sama pak Harto bri, kamu siap-siap ya, kamu akan...."

.
.
.
.

Besoknya kami kembali ke Sidrap setelah acara pernikahan Andi selesai.

"LAMARAN?!"
Dari semalam aku tidak berani memberitahu Fahmi soal ini, tapi tepat saat kami sampai di kontrakan aku langsung berterus terang padanya.

"mi jangan syok!"
Wandi terlihat panik setelah Fahmi berteriak.

"ti...tidak bri!, aku tidak setuju!"

"aku... Tidak bisa melawan orang tuaku mi"

"tidak mau!, kau harus bersamaku seumur hidup!"

"mi kumohon mengerti"

"ehh kita masuk kedalam saja, tidak enak di lihat orang"
Wandi mendorong kami berdua masuk ke kontrakannya.

Dan saat Wandi menutup pintunya, tiba-tiba Fahmi bersujud di kakiku sambil menangis.
"jangan bri! Kau tahu aku sangat mencintaimu.... Hiks... Aku... Aku tidak bisa hidup tanpamu bri"

"mi, kumohon mengerti posisiku sekarang.."
Aku berjongkok.
"mi, kita juga sudah dewasa, ada baiknya kita...."

"AKU TIDAK MAU DENGAR!"
Fahmi langsung menutup erat telingannya.
"jangan katakan apapun lagi!"

Air mataku ikut keluar.
"ku...kumohon maafkan aku mi, tapi aku ingin..."

"TIDAK!"

"aku..."

"TIDAK MAU!!!!"

"KITA SUDAHI SAJA SEMUA INI MI!"

"AKU TIDAK DE.."
Plak!
Aku menampar Wajah Fahmi dengan keras.

"bodoh!, kita sudah besar mi!, sudah saatnya kita mulai berkeluarga dan hidup normal!"

"normal?, jadi selama ini kita apa?! Aneh?!"

"kau yang aneh!, menyukaiku dan terus bertahan denganku!"

Fahmi melotot dan menggenggam tanganku dengan kuat.
"itu karena aku mencintaimu!, sekarang juga kita pesan tiket pesawat, kita harus pergi jauh dari sini!"

Aku melepaskan pegangan tangannya itu.
"tidak mi!"

"tidak ada kata tidak!, kita cari jadwal tercepat dan kau kuharap kau tutup mulut!"
Fahmi juga membentak Wandi.

"mi....sadar, aku tidak mau pergi dari sini"
Ucapku memelas.

"aku tidak dengar!, aku akam membereskan barang-barangmu kamu sayang duduk saja di dalam mobil ayo sekarang!, kita kehabisan waktu"

"mi..., kau sudah gila...."

Fahmi terdiam.
Air matanya terus keluar.
Matanya masih melotot, keringatnya mulai bercucuran dan kini dia mencengkeram wajahku.
"akhh sakit mi..."

"AKU GILA KARENA KAU BRI!!!!!!!!!!!! AKU GILA KARENA KAU!!!!!!!"

"CUKUP MI! HENTIKAN INI! SADAR!"

"Sudah cukup kalian berdua!"
Wandi segera menarikku menjauh dari Fahmi.

Terdapat rasa perih di pipiku.
Luka cakar, akibat Fahmi barusan.

"KAU!!!!!!!!"
Fahmi semakin menggila, dia bangkit dan menarik kerah baju Wandi dengan kasar.
"ini masalahku, jangan pernah ikut campur kau paham?!"

"walau ini masalah kalian berdua, tapi aku temanmu mi!"

"bullshit...."
Fahmi lalu melepaskan Wandi.

Dia terlihat diam beberapa saat.
Kemudian dia berlari masuk ke kamar Wandi.
Aku dan Wandi segera mengikutinya dan yang kami lihat selanjutnya di dalam kamar itu adalah...

Fahmi yang mengacungkan pistol ke kepalanya sendiri.
"HENTIKAM BODOH!"
Aku dan Wandi segera menghampiri Fahmi dan berusaha merebut pistol itu.

"kau mau ini berakhir kan?!, kalau begitu BIARKAN AKU MATI DAN HIDUP SENANG SAJA SAMA ISTRIMU!"

"AKU CUMA SENANG JIKA KAU HIDUP MI!"

*****

Hmm....

Jangan lupa vote :)

Pluviophile (Sejenak#3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang