Bab XXXVIII. Sarang Burung Phoenix

252 54 3
                                    

Kerajaan Sorcery terbuat dari kumpulan batu yang disusun dengan rapi oleh para manusia yang bekerja di bawah kerajaan. Banyak ruangan berjejer di dalamnya. Bagian atas terkena sinar matahari, sementara bagian bawah diberi cahaya lilin yang tertempel di sisi dinding. Aliora, Barbara, dan Jiro bergerak dengan hati-hati di jalan yang remang-remang. Sesekali mereka akan menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa tak ada yang mengikuti mereka.

Setelah Kara menyuruh mereka untuk mencari pedang Meika, dengan segera mereka langsung bergerak melalui dinding-dinding yang telah hancur agar cepat sampai ke ruangan yang lain. "Kita sudah berjalan cukup jauh, tapi pedang itu tetap tidak terlihat," ucap Barbara. "Mungkin pedang itu tidak ada di sini," balas Jiro.

Keadaan begitu sunyi, bahkan suara langkah kaki mereka terdengar begitu jelas. Lorong yang mereka lewati juga begitu sempit. Ketiganya tidak tahu mereka sedang berada di mana. "Apa kita tersesat?" tanya Aliora begitu dia melihat ujung lorong yang gelap tanpa adanya cahaya dari lilin. "Mungkin? Jiro, kau tahu kita di mana?" tanya Barbara pada anak lelaki di sampingnya. "Aku tidak terlalu ingat. Aku jarang memasuki bagian bawah kerajaan."

Ketiganya tetap melanjutkan perjalanan. Suasana yang hening membuat Barbara merasa sesak. Dia sangat tidak tahan dengan keadaan yang gelap dan tenang. Rasanya seperti bahaya akan muncul tiba-tiba. Aliora yang berjalan paling depan menghentikan langkahnya, membuat dua orang lain juga ikut berhenti.

"Ada apa?" tanya Barbara.

"Di depan sana begitu gelap. Apa kita akan tetap berjalan?" tanya Aliora kembali.

Barbara dan Jiro mengintip ke depan. Lilin yang menerangi lorong berhenti beberapa meter di depan mereka. Jika mereka tetap berjalan maka tak ada lagi lilin yang menerangi perjalanan mereka. Barbara memutar otaknya. Mereka harus tetap berjalan untuk mencari pedang Meika. Matanya bergerak-gerak mencari jalan keluar. Tanpa sengaja perhatiannya jatuh pada lilin yang tertempel di dinding. Dia bergerak untuk mencabut lilin tersebut dan membawanya ke depan.

"Ayo, lanjutkan." Barbara berjalan mendahului Aliora sambil mengangkat lilin. Akan tetapi, saat mereka akan memasuki lorong yang gelap, Barbara tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia membawa tangannya ke depan, meraba-raba sesuatu di depannya. Barbara mengerutkan kening dan berbicara pada Aliora dan Jiro.

"Jalan ini buntu." Jiro melangkah ke depan untuk melihat dinding yang ditunjuk oleh Barbara. "Ini ... ." Barbara dan Aliora melihat Jiro dengan tanda tanya. Bocah itu meletakkan kedua tangannya pada dinding tersebut dan menggesernya ke samping. Cahaya terang menerangi mata mereka. Di balik dinding tersebut terdapat sebuah tempat yang memiliki tanah rumput yang luas. Di sebelah kanan terdapat danau dengan air yang sangat jernih. Rumput-rumput yang tumbuh di atas tanah pun terlihat hijau dan subur. Di sebelah kiri terdapat beberapa pohon dengan ukuran yang besar. Pohon-pohon tersebut begitu rindang. Nikmat jika berteduh di bawah daunnya.

"Tempat apa ini? Sangat luas." Barbara memutar-mutar tubuhnya untuk melihat luasnya tempat yang mereka pijaki. Langit di atas begitu cerah, berbeda dengan langit yang mereka lihat beberapa waktu lalu. Jiro memperhatikan sekitar, tiba-tiba dia melangkah mundur ketika menyadari bahwa dugaannya benar tentang tempat ini.

"Tempat ini ... sarang burung phoenix." Mendengar perkataan Jiro tentang tempat yang baru saja mereka masuki membuat Barbara dan Aliora terkejut. Mereka segera merapatkan tubuh masing-masing. Insting untuk melindungi diri tiba-tiba muncul. "Tapi kenapa aku tidak melihat satu pun burung phoenix?" tanya Barbara. "Kau lihat gua di sana?" tanya Jiro sambil menunjuk ke arah gua yang dimaksud. Barbara dan Aliora mengikuti arah tunjuk Jiro. Beberapa meter di depan mereka terdapat sebuah gua berukuran besar. Di muka gua terdapat satu pohon yang tumbuh di tengah-tengah pintu gua. Pohon tersebut memiliki ukuran lebih kecil daripada pohon yang lain.

"Aku melihatnya. Ada apa dengan gua itu?" tanya Barbara.

"Gua itu adalah tempat di mana burung phoenix meletakkan telurnya. Para Suzaku akan memilih telur tersebut untuk dijadikan peliharaan. Mereka akan merawat telur itu di kamar mereka dalam suhu yang tinggi hingga menetas. Burung phoenix akan menjadikan siapa pun yang merawat mereka sebagai tuannya. Setelah menetas dan mengenali tuannya, mereka akan dikembalikan ke tempat ini hingga mereka besar dan siap bertarung."

Barbara mengangguk paham, sementara Aliora kembali bertanya. "Lalu, kenapa tempat ini tampak sepi? Ke mana burung-burung itu?"

"Burung phoenix yang baru menetas akan dikembalikan ke gua itu. Di dalam gua itu terdapat beberapa lubang. Di sanalah burung-burung itu beristirahat, sedangkan burung phoenix yang sudah besar akan kembali ke tempat ini ketika hari sudah gelap. Kita harus hati-hati, di dalam gua itu ada satu burung phoenix yang menjaganya. Burung itu sangat pintar. Dia mengetahui siapa saja tuan dari anak-anak burung itu sehingga ketika mereka mengembalikan telur yang telah menetas, dia tidak akan menyerang mereka."

Barbara bertanya, "Bagaimana cara mereka mengambil telurnya? Apa burung itu tahu siapa saja yang akan menjadi tuan dari telur-telur itu?"

"Tidak. Siapa pun yang ingin menjadi Suzaku harus melawan burung itu terlebih dahulu sebelum dia mengambil telur tersebut." Barbara dan Aliora mengangguk paham. Untuk menjadi Suzaku, banyak hal yang harus mereka lalui. Akan tetapi, itu tidak seberapa dengan apa yang akan mereka dapatkan.

Mendapatkan burung phoenix sebagai hewan peliharaan adalah hal yang bagus. Burung itu bisa membantu dalam pertarungan dan kekuatannya sangatlah berbahaya. Ketika Chloe berhasil membunuh dua burung phoenix, mereka sangat terkejut. Karena burung itu terkenal sebagai binatang dengan kekuatannya yang besar dan berbahaya, bahkan Louis hampir kehilangan nyawanya jika dia tidak memiliki darah Werewolf dalam tubuhnya.

Tiba-tiba dari atas kepala mereka, angin bertiup kencang disertai suara kepakan sayap. Barbara, Jiro, dan Aliora sama-sama mendongak. Mendapati seekor burung phoenix terbang di atas mereka. "Gawat! Sepertinya mereka telah mengetahui keberadaan kita," ucap Barbara panik. Mereka berlari untuk mencari perlindungan. Akan tetapi, burung itu telah terlebih dahulu berhenti di depan mereka.

"Kalian para penyusup yang telah berani membunuh dua saudaraku 'kan!" Di atas punggung burung phoenix tersebut terdapat seorang lelaki yang memakai penutup mulut berduri. Sebelah matanya terluka, sementara sebelahnya lagi tak memiliki kelopak mata.

"Mengerikan sekali wajahnya," bisik Aliora. "Apa dia bisa melihat dengan benar?" tanya Barbara, balas berbisik. "Tolong serius. Kita sedang dalam bahaya," bisik Jiro.

Lelaki itu melompat dari burung phoenix. Barbara, Jiro, dan Aliora semakin merapatkan tubuh mereka. Berhati-hati terhadap lelaki yang berjalan ke arah mereka sambil menarik pedang dari sarungnya.

"Jiro Lee ... berani sekali kau muncul setelah membuat mataku tidak bisa lagi terpejam." Barbara dan Aliora menoleh secara bersamaan. Mereka melihat Jiro dengan tatapan bertanya. Orang yang bersiap menebas mereka itu berbicara seperti dia mengenal Jiro. "Kau siapa?" tanya Jiro. Dia tidak merasa mengenal Suzaku itu. Tidak ada dalam ingatannya dia memiliki masalah dengan lelaki ini.

"Kau tidak ingat aku?" tanya lelaki itu. Jiro menggeleng dengan cepat. Suzaku itu tertawa dibalik penutup mulutnya. "Wajar kau tidak ingat. Saat itu kau sudah melarikan diri. Demi melindungi dirimu, orangtuamu harus bertarung denganku dan membuat mataku terluka. Harusnya kau sudah menjadi budak sejak kau lahir, tapi orangtuamu merusaknya." Jiro menelan ludahnya. Dia tidak pernah tahu tentang hal ini. Selama ini dia hidup dengan baik sampai Meika pergi dari kerajaan

"Yah, tapi aku puas karena Nona Jazlyn telah membunuh mereka dan sekarang adalah waktunya untuk kau ... mati."

Through the DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang