Bab XCII. Obsesi Cordelia

218 38 5
                                    

Dalam ruang bernuansa kelam, Barbara duduk termenung di pinggiran tempat tidur. Dua hari dia berdiam diri di kamar Reivan. Sejak dirinya dibawa kembali ke kerajaan Rufus Ignis. Barbara belum melihat apa pun. Reivan juga tidak menunjukkan dirinya selama dua hari ini. Barbara tidak tahu di mana Reivan tidur jika dirinya berada di kamar lelaki itu.

Selama itu juga Barbara menganalisis kamar Reivan. Saat pria itu menjadi pengawal pribadinya, kamar Reivan bukanlah yang ini, melainkan kamar yang berada tak jauh dari kamarnya. Ini adalah kamar untuk Duke sebelumnya. Berbicara tentang Duke, Barbara teringat dengan keberadaan Duke Alex. Dia tidak memiliki ide di mana keberadaan lelaki itu. Entah masih hidup atau sudah mati.

Suara pintu terbuka membuat Barbara tersadar dari lamunannya. Di muka pintu, terdapat sosok Cordelia dengan kulit wajah yang begitu muda. Tidak ada kerutan atau garis mata. Halus dan lembut. Gaunnya mewah, ekor punggungnya panjang dan kembang. Rambutnya ditata rapi. Penampilannya tak jauh beda ketika dia masih menjadi putri mahkota.

"Lama tak jumpa, keponakanku." Cordelia masuk dengan senyuman lebar di wajahnya. Setelah sekian lama dia mencari Barbara, akhirnya dia berhasil mendapatkan wanita itu dalam genggamannya.

Barbara diam tak memberi respon. Melirik Cordelia sekilas dan membuang muka. Sisi kanannya lebih menarik untuk dilihat meski tidak ada sesuatu di sana. "Awalnya, aku tidak percaya jika Reivan menemukanmu. Setelah melihatnya membawamu ke mari, aku sangat bahagia. Lathaya. Apa kau sudah percaya sekarang? Reivan tidak pernah setia padamu. Dia mencarimu selama ini hanya untuk membawamu kepadaku." Cordelia terus mengoceh. Mengatakan ini dan itu sambil berputar-putar di kamar Reivan.

"Apa yang kau inginkan dariku? Kerajaan sudah kau kuasai. Kenapa harus menggunakan wajahku?" tanya Barbara tanpa memalingkan wajahnya. "Oh? Kau tahu itu? Yah, agar tenagaku tidak terbuang banyak untuk menghadapi para pemberontak."

"Kau memiliki kemampuan untuk menghabisi mereka."

"Tentu, tapi ada jalan yang lebih mudah. Menghabisi mereka hanya akan membuat populasi berkurang. Bagaimana aku berkuasa jika hanya memiliki sedikit bawahan?"

"Omong kosong."

Cordelia tertawa terbahak-bahak. "Yah, benar. Itu hanya sebuah omong kosong. Jika aku mengubah wajahku menjadi dirimu, aku merasa telah memiliki kemampuan Hidup Abadi." Dia melihat Barbara dengan ujung matanya, "sampai aku berhasil menemukan cara merebut kemampuan itu darimu, aku akan menguasai dunia dengan wajahku sendiri. Menunjukkan pada semua orang jika aku berhasil berdiri di atas kepala mereka!" Tawa Cordelia membuat Barbara muak mendengarnya. Dia berbalik dan bertatap muka dengannya.

"Kemampuanku tidak bisa diambil siapa pun." Cordelia menjawab dengan dagu terangkat tinggi. "Ya, aku akan menjadi orang pertama yang bisa mengambilnya."

"Gila."

"Hahaha. Aku gila? Tidak masalah. Setidaknya aku masih bisa berdiri di sini dibandingkan adikku yang gila di bawah sana." Mendengar kalimat Cordelia tentang ayahnya, wanita itu berdiri dari duduknya.

"Di mana ayahku!"

"Ayahmu? Sudah mati?"

"Jangan bercanda!"

Gelak Cordelia kembali terdengar. "Ayahmu dan juga para tetua itu sudah membusuk di penjara bawah tanah." Dada Barbara mengembang, lalu mengempis. Amarahnya memuncak ketika dia mengetahui ayahnya telah dipenjarakan. Spontan tangannya tergerak, mengeluarkan sabetan api ke arah Cordelia. Dengan sigap, Cordelia menahan serangan itu menggunakan api berwarna hitam. "Api hitam?" bisik Barbara pada dirinya sendiri.

Selama 800 tahun hidupnya, Barbara belum pernah melihat atau mendengar tentang api yang berwarna hitam. Baru kali ini, dia melihat ada seseorang yang menggunakan api hitam dan itu adalah kakak dari ayahnya sendiri. Barbara bertanya pada Cordelia. Kerutan di keningnya terlihat jelas jika dia merasa bingung sekaligus terkejut.

Through the DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang