Bab LVII. Kembalinya Alastor

232 49 10
                                    

Dua hari berlalu sejak mereka mulai berlatih. Selama itu, Kara telah memiliki peningkatan dalam berpedang, bahkan Meika mengakui kecepatan belajarnya. "Sangat bagus. Aku bangga menjadi gurumu," kata Meika.

"Sejak kapan kau menjadi guruku?"

"Aku mengajarimu ilmu pedang, tentu saja secara otomatis aku menjadi gurumu." Kara mengembalikan bentuk pedang Half Moon menjadi bentuk aslinya. Dia berkata, "Tutup mulutmu." Meika tidak terima dengan perilaku Kara. Dia mengejar Kara yang akan masuk ke dalam rumah. "Panggil aku Master mulai sekarang."

"Tidak."

"Dasar tidak tahu terima kasih."

Sementara Meika berusaha mengejar Kara agar dia memanggilnya Master; di halaman belakang, Jiro dan Barbara sedang membantu Wizard menggarap tanah untuk ditanami beberapa sayuran. Karena Barbara adalah seorang manusia dan dia tidak memiliki apa pun untuk dilatih, dia memilih untuk melakukan hal lain. Setelah menanam beberapa sayuran bersama Jiro, mereka berdua pergi ke salah satu pohon yang sedang dilalui oleh koloni semut. Jiro berjongkok di sekitar para semut itu. Memperhatikan mereka seolah dia sedang mempelajari hal yang penting di sana. "Untuk apa kau melihat semut?" tanya Barbara. Dia ikut berjongkok di samping Jiro sambil memakan buah apel yang baru saja dibeli oleh Wizard di kota Burn. "Hanya ... berpikir."

"Berpikir apa?" Barbara mengigit kembali daging apel tersebut. "Mereka saling bekerja sama untuk mempertahankan kehidupan mereka. Kenapa kita yang lebih besar dari mereka tidak melakukannya?" Barbara menelan apelnya dengan susah payah. Dia melirik Jiro yang tidak mengubah ekspresi wajahnya. Anak ini benar-benar serius ketika dia bertanya.

Barbara berdeham sebelum menjawab. "Mereka kecil dan hanya bisa berpikir untuk mempertahankan kehidupan dengan saling bekerja sama. Jika mereka bergerak sendiri, sudah pasti mereka akan mati terinjak sebelum bisa bermimpi hidup enak." Jiro mendengarkannya dengan serius. Jadi, Barbara melanjutkan, "Kita yang memiliki ukuran tubuh lebih besar, tentu bisa bergerak sendiri. Siapa yang bisa menginjak kita seperti menginjak semut? Kecuali kau bertemu dengan kaum Rakhshasah."

"Kaum Rakhsasah?"

"Kaum dengan tubuh yang besar. Dua kali lipat, ah, tidak. 10 kali lipat dari tubuhmu." Jiro bergidik ngeri. "Benarkah ada kaum yang seperti itu?" Barbara mengangguk. "Tentu saja. Dengar, Jiro. Jika kaummu tidak bisa bekerja sama untuk mempertahankan kehidupan maka kau bisa bekerja sama dengan kaum lain. Lihat di belakangmu." Jiro melihat arah tunjuk Barbara. Beberapa meter di belakang mereka, terdapat Chloe, Aliora, Meika dan juga Kara, sedang berlatih. Barbara kembali berkata, "Mereka sedang berusaha mempertahankan kehidupan meskipun berasal dari kaum yang berbeda. Bukankah seharusnya memang begitu sejak awal?"

Jiro melihat ke arah Barbara yang bertanya padanya sambil tersenyum. "Kau benar. Aku hampir melupakannya." Barbara mengacak rambut Jiro. Dia merasa gemas melihat wajah anak ini sekarang.

Tiba-tiba, Aliora berteriak dan menangis. "Aku menyerah! Tidak mau lagi!" Barbara dan Jiro segera menghampiri mereka. Dari dalam rumah, Wizard keluar saat mendengar teriakan Aliora. "Ada apa denganmu? Kenapa mereka tidur di tanah?" tanya Barbara. Dia dapat melihat Chloe, Meika, dan Kara, berbaring di atas tanah sambil memeluk diri mereka. "Aku tidak ingin melakukannya lagi." Aliora tidak menjawab pertanyaan Barbara, melainkan dia melarikan diri dan masuk ke kamarnya.

Barbara dan Jiro melihat kepergian Aliora dengan bingung, kemudian dia membantu ketiga orang yang terjatuh itu untuk duduk. "Ada apa dengan kalian?" tanya Barbara lagi. Meika menjawab dengan susah payah. "Kami memintanya untuk berlatih lagi. Menyuruhnya mengendalikan darahku dan Kara tanpa mengenai Chloe, tapi yang terjadi adalah dia melukai kami semua."

"Apa tidak ada perkembangan sama sekali?" tanya Barbara. "Ada." Wizard menjawab pertanyaan Barbara. Dia telah memperhatikan mereka meskipun dia sibuk melakukan urusannya sendiri. "Sebelumnya, banyak orang yang terkena efeknya, tapi kau dan Jiro baik-baik saja. Seharusnya kalian juga terkena efeknya jika berada di jarak itu." Barbara melihat kembali dimana mereka berada sebelumnya. Jika diperhatikan dengan baik, memang seharusnya mereka terkena dampaknya, tapi mereka baik-baik saja. Itu berarti Aliora mengalami peningkatan.

"Dia tidak ingin melakukannya lagi," kata Chloe. "Ya, dia melarikan diri," tambah Meika. Mereka semua diam dengan pikiran mereka. Aliora sudah menyerah untuk mengasah kekuatan terlarang itu dan mereka tidak punya cara untuk membujuknya. Namun, di saat semua orang hampir putus asa, tiba-tiba Meika berseru, "Aku tahu!" Semua orang yang berada di sana melihatnya dengan serius. Menunggu ide terbaik yang bisa diberikan oleh Meika.

Setelah menjelaskan rencanya, semua orang mengangguk setuju. Kara bertanya, "Dengan siapa kau pergi?" Barbara langsung menolak dengan tegas. "Jangan ajak aku. Tidak mau dan tidak akan pernah!" Meika mencibir. "Siapa juga yang akan membawamu. Kau menghalangi jalanku jika ikut." Barbara bersiap untuk memberikan satu pukulan di wajahnya, tapi Chloe menghentikannya dengan cepat.

"Aku akan pergi sendiri. Lebih cepat dan mudah." Mereka semua menggangguk setuju. Untuk rencana ini, membiarkan Meika pergi seorang diri adalah hal yang terbaik. "Kapan kau pergi?" tanya Chloe. "Sekarang. Aku tidak perlu bersiap. Masih ada sisa ramuan sebelumnya." Kemudian, sosok Meika telah menghilang dari hadapan mereka.

Tiga hari berlalu sejak kepergian Meika dan selama itu Aliora sama sekali tidak ingin melatih kekuatannya, bahkan setelah dibujuk dengan berbagai macam hal oleh Barabara. Seperti menawarkannya buah-buahan, sayur-sayuran, bahkan dia akan memberikan ikan Botana Blue Tang. Aliora tetap menolaknya, lagi pula dia tahu jika Barbara tidak akan bisa memberikan ikan kesukaannya itu padanya.

"Ayolah, Liora," bujuk Barbara lagi. "Tidak masalah, Liora. Kami baik-baik saja," tambah Chloe. "Benar. Kami baik-baik saja," timpal Jiro. Barbara dan Chloe melihat ke arah Jiro dan menyuruhnya untuk pergi bermain. "Sudah. Tidak perlu dipaksa lagi. Jika tidak mau, yasudah." Kara berkata di seberang sana. Dia masih sibuk berlatih dengan senjata Half Moon. "Kasihan sekali teknik kuat seperti itu tidak dikembangkan," keluh Barbara. "Aku punya teknik lain yang tidak melukai kalian. Tenang saja," kata Aliora.

Saat mereka sedang meyayangkan keputusan Aliora yang tidak ingin melanjutkan latihannya, tiba-tiba angin kencang berhembus ke arah mereka. Menerbangkan beberapa helai daun dan menerbangkan debu ke wajah mereka. "Apa-apaan angin ini." Barbara memaki angin yang menampar wajahnya. Dia mengibas-ngibaskan tangan di depan mukanya agar debu tidak memasuki mata dan mulutnya.

"Itu ... ." Suara Chloe tercekat. Mereka melihat ke satu titik yang sama. Di depan mereka, muncul sekumpulan air yang secara perlahan membentuk tubuh seseorang. "Kau—" Air itu membentuk seorang lelaki setengah telanjang dengan sisik yang memenuhi sebagian tubuhnya serta kedua matanya berwarna hitam gelap. Mereka berteriak secara bersamaan, menyebut nama musuh yang sudah lama mereka bunuh.

"ALASTOR?"

Through the DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang