"Akh! Seseorang ... apa ada orang di sini?" Barbara yang pertama kali tersadar, langsung bersuara, bertanya keberadaan yang lain. "Aku di belakangmu." Secercah cahaya muncul di belakangnya. Barbara menoleh dan mendapati wajah Meika yang terang karena sinar api di tangannya. "Aaaa! Brengsek. Kau mengejutkanku." Dia mengelus dadanya, "apa-apaan dengan wajahmu? Seperti hantu."
"Hantu apa? Diabolos, bahkan lebih mengerikan daripada hantu." Barbara berdecak. Dia meraba-raba sekitarnya, mencari obor yang terjatuh. "Ketemu." Barbara menyodorkan obor tersebut ke arah Meika. Menyuruh Witch itu untuk menyalakannya. Setelah diberi api, obor tersebut kembali menyala dan menerangi tempat mereka berada. Meika menghilangkan api dari jarinya dan hanya menggunakan satu obor untuk menerangi jalan mereka. "Apa hanya kita berdua yang jatuh ke lubang ini?" tanya Barbara. Dia membawa obornya mengarah ke dinding gua.
"Lubang tadi menghilang," kata Barbara. Menunjuk ke atas di mana mereka terjatuh sebelumnya. "Gua ini aneh. Ah, siapa yang mendorong kita tadi?" Meika baru mengingat jika sebelumnya mereka didorong oleh seseorang. Anehnya, mereka sama sekali tidak menyadari kedatangan orang tersebut. Seolah yang mendorong mereka bukanlah sesosok makhluk yang mereka kenali. Mereka didorong secara bersamaan dan terjatuh di tempat yang berbeda.
"Ada jalan di sebelah sini." Barbara mengarahkan obornya ke samping. Terdapat satu jalan yang bisa mereka lalui untuk saat ini. Mereka memutuskan untuk berjalan dan mencari yang lainnya. "Apa kita perlu berteriak?" tanya Barbara.
"Untuk apa?"
"Hanya memastikan. Siapa tahu ada yang menjawab."
"Kalau yang menjawab itu makhluk yang ada di gua ini bagaimana? Kau tidak ingat apa yang dikatakan oleh Piro?"
"Siapa Piro?"
"Kentauros itu. Yang menjawab Yuros."
"Oh. Tidak perlu khawatir. Kita coba dulu."
"Coba apa?"
Barbara meletakkan sebelah tangannya di dekat mulut dan berteriak, "Halo! Di mana kalian semua? Halo! Barbara di sini!"
"Apa yang kau lakukan?" Meika menutup mulut Barbara. Menghentikan dirinya mengeluarkan suara keras. "Kita harus berhati-hati," lanjutnya. "Pah! Aku hanya mencoba." Barbara melepaskan tangan Meika dari mulutnya. Tak lama setelah dia berteriak, terdengar suara seseorang menjawabnya.
"Aku di sini." Meika dan Barbara saling bertatapan. Itu suara yang sama, yang menjawab panggilan Yuros sebelumnya.
"Meika, tubuhku tiba-tiba merinding."
"Aku juga. Suara sialan. Membuat takut saja."
Brak! Tiba-tiba terdengar suara seperti batu terjatuh. Barbara dan Meika saling melihat ke belakang, tetapi tidak berani mencari tahu. Tubuh mereka secara otomatis saling mendekat dan menipiskan jarak. "Lebih baik tetap bersama," kata Barbara. "Kau benar. Kita tidak tahu ada bahaya apa di depan sana." Sebenarnya, Meika jarang takut akan sesuatu. Dia suka melakukan hal-hal yang bisa menjawab rasa penasarannya, tetapi jika berada dalam keadaan dimana dia mendengar suara seseorang tanpa ada wujudnya, dia akan merasa seluruh tubuhnya merinding dan tidak nyaman. Mereka kembali berjalan dengan hati-hati. Saling berpegangan pada lengan satu sama lain guna mengatasi rasa takut.
"Sial!" umpat Meika. Kini, mereka dihadapkan kembali dengan dua lubang. Namun, ukurannya berbeda. Lubang di sebelah kiri hanya bisa dilewati oleh satu orang, sementara yang kanan bisa dilalui dua orang. "Ke mana menurutmu?" tanya Barbara. "Kenapa tanya aku? Kau saja yang memilih."
"Kenapa aku? Kau saja."
"Kau saja."
"Tidak."
Saat keduanya sibuk berdebat, dari bawah kaki mereka, tanah tiba-tiba meninggi dan mendorong keduanya ke dalam lubang yang berbeda. Barbara jatuh ke lubang kiri, sementara Meika ke lubang kanan. "Aaaaa!" Barbara terguling-guling di dalam lubang tersebut dan terjatuh ke dalamnya. Untuk kedua kalinya, obor yang dia pegang mati. Akan tetapi, saat dia membuka mata, tempat jatuhnya dia tidak lah gelap. Barbara melihat ke sekitarnya. Dia terjatuh di tempat yang terlihat seperti sebuah ruangan di dalam rumah. Di dinding gua terdapat lampu gantung, di dalamnya berisi minyak dan api yang menyala. Berjejer rapi di sisi dinding. Sisi lainnya terdapat buku-buku yang tersusun di rak kayu. Barbara berdiri dan berjalan ke arah rak tersebut. Penasaran dengan buku-buku tua yang berada di dalam gua aneh ini.
Pandangan Barbara tertuju pada satu buku yang dituliskan dengan huruf kuno. Huruf ini terakhir kali digunakan 500 tahun lalu dan sekarang sudah tidak digunakan lagi. Barbara mengambil buku itu dan menyimpannya di dalam tas jerami yang selalu dia bawa. Kemudian dia berjalan kembali. Di sampingnya, ada jalan lain. Barbara hendak mengambil satu lampu untuk menerangi jalannya, tetapi tanpa diduga, seseorang dengan aura berat muncul di belakangnya. Menahan dirinya di dinding ... menghalangi dia untuk pergi.
Barbara sama sekali tidak memutar tubuhnya. Dia melihat tangan lelaki tersebut menggunakan sarung tangan terbuka di jarinya. Di gua yang sunyi ini, Barbara dengan jelas mendengar helaan napas orang tersebut.
"Kau manusia?"
Jantung Barbara hampir keluar dari tubuhnya. Suara yang halus dan dalam itu terdengar jelas di telinganya. Keringat dingin mulai bermunculan di kening Barbara.
"Kenapa diam?"
Barbara menggigit bibirnya. Tangan yang menggenggam tali tas mulai bergetar. Dia takut jika orang yang berdiri di belakangnya adalah Duke Lazarus. Ke mana dia harus berlari jika itu benar dia?
"Apa yang dilakukan oleh manusia di bawah sini?" tanyanya lagi, "apa kau tersesat?" Barbara dapat mendengar tawa kecil yang keluar setelah dia bertanya. "Kau adalah manusia yang ikut bersama mereka. Aku benar 'kan?" Mata Barbara terpejam erat. Bukan hanya tangannya yang bergetar, tetapi seluruh tubuhnya tidak bisa diam dan terus menggeligis.
Brak! Barbara dan orang di belakangnya sama-sama menoleh ke arah runtuhan. Di balik debu dinding yang hancur, Kara berdiri di sana dengan wajah lelah. "Menjauh darinya!" Kara berteriak pada orang yang menahan Barbara. Matanya tidak bisa menahan diri untuk tidak terkejut. Bisa-bisanya Barbara bertemu dengan Duke Lazarus seorang diri di situasi seperti ini. Kara menyerang Duke Lazarus, tetapi lelaki itu dengan cepat menarik Barbara dan membuatnya sebagai tameng.
"Brengsek. Jangan jadi pengecut. Lepaskan dia." Duke Lazarus tertawa. Suaranya begitu halus dan lembut, tetapi ekspresinya begitu dingin. "Kau sudah tahu bahwa dirimu sedang berjalan di jalanan yang penuh bahaya, tetapi kau masih tega membawanya?" Lelaki itu menggeleng seolah merasa kecewa, "jika aku jadi kau, bahkan jika dia berkeras diri ingin ikut ... aku akan melemparnya sejauh mungkin sampai dia tidak bisa mengikutiku." Kara merasa tersindir sekarang. Bukan berarti dia tidak melarang Barbara, tetapi manusia ini bersikeras mengikutinya. Terutama dari ceritanya yang menyedihkan itu, Kara tidak bisa membiarkan dia kembali ke kehidupan lamanya. Akan tetapi, jika dipikir-pikir lagi, daripada mengikutinya ke wilayah Vampire, kehidupan lamanya terdengar lebih baik.
Melihat Kara yang diam, Barbara mengambil tindakan. Dia bergerak-gerak, berusaha melepaskan diri dari Duke Lazarus. "Tidak ada gunanya kau— tunggu." Lelaki itu tiba-tiba terdiam. Dia mendekatkan hidungnya ke leher Barbara. Mengendus baunya seolah dia bagian dari kaum Werewolf. "Baumu seperti ... ." Sebelum Barbara mendengar kalimat selanjutnya, dia memukul perut Duke Lazarus menggunakan sikunya dan berlari ke arah Kara.
"Akh! Sial, aku lengah." Duke Lazarus memegang perutnya yang terkena siku Barbara. Saat dia terfokus pada bau tubuh gadis itu, dia menjadi lengah sesaat.
"Hei! Sadar. Jangan dengar omongan dia." Barbara menampar keras bahu Kara agar dia berhenti melamun di keadaan genting seperti ini. Tersadar dari lamunannya, Kara langsung mengeluarkan Half Moon dan mengubahnya menjadi sebuah pedang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through the Dark
FantasyRibuan tahun yang lalu, dunia dikuasai oleh kaum yang memiliki kekuatan super. Kaum Werewolf, Vampire, Witch, Mermaid, dan Fairy. Di saat keadaan dunia tengah berada dalam kedamaiannya, kaum Vampire bergerak membantai seluruh Werewolf dan bermaksud...