Bab Ekstra 6: Membayar Janji

413 46 8
                                    

Tujuh ratus tahun kemudian ... .

Angin petang bertiup lembut, menggugurkan dedaunan yang telah kering di rantingnya. Di atas tebing datar, dua sejoli tengah duduk bersama menikmati hari mereka. Ratusan tahun telah berlalu, tetapi hanya satu orang yang terlihat mengalami perubahan.

"Barbara. Seberapa banyak waktu berlalu, kau tetaplah sama." Reivan berkata di samping Barbara. Pria itu terbatuk-batuk setelah menyelesaikan satu kalimat. "Aku pemilik kemampuan Hidup Abadi. Wajar jika aku tidak berubah sedikit pun." Reivan tertawa kecil. Kemudian, dia menatap langit yang berubah menjadi merah agak kekuningan.

"Aku berharap bisa hidup lebih lama lagi." Dia menarik napasnya dalam-dalam, "tapi keluarga Lazarus tidak ada yang berusia 2000 tahun. Kebanyakan dari kami mati di usia 1500 tahun. Jarang ada yang mendekati 2000."

Barbara diam tanpa mengatakan apa pun. Dia hanya mengelus pelan tangan Reivan yang mulai berkeriput. "Mungkin karena kelebihan yang kami miliki membuat kami berusia lebih pendek dari kaum lainnya, bahkan kaum kami sendiri." Dia terbatuk lagi. Barbara buru-buru mengelus punggungnya.

"Aku harap keturunan kita baik-baik saja. Dunia akan terus berubah. Bisa lebih baik atau lebih buruk."

"Jangan bicara lagi."

Reivan menggeleng. "Sampai kapan pun, aku tetap mencintaimu. Aku ... akan menunggumu." Tiba-tiba dia kesulitan bernapas. Dadanya terasa sesak dan matanya mulai kehilangan arah. Secara perlahan, tubuh Reivan berhenti bergerak.

Barbara mulai meneteskan air matanya. Di tangannya, terjatuh batu kristal berwarna merah. Dia mendekap batu itu di dadanya, menangis sesenggukan seorang diri di sana.

Kematian keluarga Lazarus berbeda dengan Vampire lainnya. Mereka mati dengan tubuh yang berubah menjadi debu yang kemudian terbang bebas bersama angin.

✦✧✦

Barbara memanggil kedua putranya. Memberitahukan kepada mereka bahwa ayah mereka sudah tiada. Dia juga memberikan batu kristal yang merupakan perwujudan jiwa Reivan. Dia meminta kedua anaknya untuk menjaga benda tersebut dengan baik. Lalu, dia juga memberi penjelasan pada kedua putranya yang memiliki perbedaan usia 10 tahun. Yang paling tua berumur 560 tahun, sementara yang muda berusia 550 tahun.

Barbara meminta maaf kepada mereka jika dirinya tidak bisa bersama mereka untuk waktu yang lama karena ada janji yang harus dia tepati. Kedua putranya yang sudah lama mengetahui mengenai perjanjian itu pun telah mempersiapkan diri.

Dengan lapang dada mengikhlaskan kepergian kedua orangtuanya di saat yang bersamaan. Setelah berpamitan, Barbara pergi ke lantai bawah. Dia berdiri di depan perapian. Di sana adalah tempat dia biasa duduk bersama dengan Reivan. Barbara menitikkan air matanya lagi.

Kemudian, dia mengeluarkan tangannya. Lalu menggigit ibu jarinya sampai mengeluarkan darah yang kemudian dia teteskan di atas lengannya. Tak berapa lama, simbol perjanjian pun muncul bersamaan dengan datangnya Diabolos penguasa Hutan Dalinis.

"Untuk mendapatkan satu jiwa murni, aku harus menunggu selama ini. Aku hampir saja kehilangan minatku." Barbara mendengus sambil tertawa getir. "Omong kosong." Behemoth berkata lagi. "Kupikir kau melupakan janjimu. Aku, bahkan berniat menghancurkan kerajaanmu jika besok kau belum memberikan jiwamu."

"Aku sedang menepati janjiku di sini."

"Ya. Untung saja umurku masih panjang. Akan lebih bagus jika jiwamu berguna bagiku."

"Aku yakin itu akan berguna."

"Kita lihat nanti. Omong-omong, kau sudah berpamitan pada semuanya?"

Barbara menggeleng. "Hanya pada anak-anakku." Behemoth mengangguk acuh tak acuh. "Baiklah, terserahmu. Jadi, kau sudah siap?" Barbara memejamkan matanya. Dia menarik napas dalam-dalam. Mata merahnya terbuka dengan kesiapan yang mantap. "Ya." Perlahan, Behemoth mengarahkan tangannya kepada Barbara. Dari ujung jari-jarinya, keluar akar halus seperti rambut. Berjalan menuju dada Barbara.

Tiba-tiba, cahaya keluar dari sana. Berkedip-kedip seolah merespons sesuatu. Hal yang sama terjadi pada Behemoth. Lambang Indestructible mulai terukir di dadanya.

Sakit pun mulai dia rasakan. Barbara berteriak hingga suaranya menggema di seluruh ruangan. Kara dan Meika yang tanpa sengaja bertemu di tengah jalan menuju kerajaan Rufus Ignis pun mendengar teriakan Barbara. Mereka hendak menerobos masuk ke ruangan dimana Barbara berada. Akan tetapi, putra tertua Barbara menghalangi mereka.

Mendadak suara teriakan itu menghilang. Kara dan Meika saling melihat satu sama lain sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan secara paksa. Di dalam sana, mereka melihat Barbara tergeletak dengan tubuh yang telah mengurus.

✦✧✦

Bunga bertebaran di atas gundukan tanah. Putra tertua Barbara meletakkan batu kristal merah yang merupakan perwujudan jiwa ayah mereka ke dalam peti mati Barbara sebelum ditutup dengan tanah. Semua kaum berduka atas kepergian Barbara. Kebanyakan dari mereka tidak tahu mengapa Barbara meninggalkan mereka. Hanya beberapa saja yang mengetahui tentang perjanjian antara Barbara dan Behemoth.

Saat ini, hanya tersisa Kara, Meika, Aliora, dan Chloe yang masih berdiri di sana. "Kau abadi, tapi mengapa malah dirimu yang pertama pergi?" Chloe bertanya dengan mata yang sudah membengkak. Di sampingnya, Aliora menangis sesenggukan. "Iya. Padahal dia bisa hidup lebih lama dari kita. Kenapa dia harus melakukan perjanjian itu?" Meika menepuk pelan punggung keduanya. Dia juga sedih, tapi dia menahan diri untuk tidak menangis. Jika dia menumpahkan air matanya juga, siapa yang akan menepuk punggung kedua temannya ini?

"Dia adalah pemimpin terbaik. Sulit baginya untuk membuat keputusan itu. Lagi pula, dia melakukannya di saat Reivan meninggalkan dirinya. Dia akan sendirian jika terus hidup dengan kemampuan abadinya. Itu sama saja seperti Simmo." Meika memberi kata-kata penenang untuk keduanya. Namun, hal itu semakin membuat Chloe dan Aliora menangis.

"Kenapa dia begitu? Aku ikut merasakan kesulitannya," ujar Chloe. Aliora mengangguk setuju. Kara yang hanya diam melihat ke bawah pun akhirnya ikut berbicara. "Tidak lama lagi kita juga akan menyusul."

"Kara!" teriak mereka secara bersamaan. "Apa? Aku mengatakan kebenaran."

"Ya, tapi tidak seperti itu juga," celetuk Meika.

"Ya. Tidak punya pikiran," sahut Chloe.

"Benar. Dasar serigala busuk." Tiba-tiba, Kara terdiam. Dia melihat ke arah Aliora.

"Kau bilang apa?" Seolah baru tersadar, Aliora menggelengkan kepalanya. "Aku juga tidak tahu." Kara mengerutkan keningnya. Jelas-jelas dia melihat Aliora yang mengatainya, tapi mengapa suaranya terdengar seperti ... Barbara?

Mengabaikan hal itu, Kara mengajak teman-temannya kembali ke kerajaan Rufus Ignis untuk menjalankan acara berkabung bagi kedua pemimpin. Sepeninggal mereka, angin kencang menjatuhkan sehelai daun kering tepat di atas gundukan tanah yang baru ditinggalkan. Dalam satu kedipan mata, daun tersebut hangus terbakar api yang muncul secara misterius.

Bab Ekstra 6:

Membayar Janji

SELESAI

Through the DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang