Bab Ekstra 2: Usaha Keras Seorang Pemimpin Baru

290 38 0
                                    

"Aaaaaa! Apa-apaan ini? Mengapa banyak sekali?" Buku-buku beserta kertas berisi aturan kerajaan dan hal-hal lain mengenai kerajaan bertumpuk di atas meja. Meika menjerit ketika melihat pelayan membawa setumpuk kertas lagi. Dengan wajah pasrah dia membiarkan wanita muda itu meletakkan semua kertas tersebut di atas meja. Pelayan muda itu membungkuk, kemudian berjalan keluar meninggalkan Meika sendirian di dalam perpustakaan.

"Bagaimana ayah dan ibu membaca semua ini selama ratusan tahun?" keluhnya. Dia sempat berkata pada Ryu bahwa dirinya ingin memberikan kerajaan Sorcery pada orang lain atau lebih baik hancurkan saja dan biarkan masyarakat memilih pemimpinnya sendiri. Namun, Ryu tidak menyetujuinya. Pria itu memberikan beberapa kalimat bijak pada Meika agar wanita itu mau membangun kembali kerajaan Sorcery sebagai penerus terakhir. Para pemberontak yang mengikuti Jazlyn pun telah mengakui kesalahan mereka berkat bantuan para Kitsune. Keluarga Ryu yang merupakan keluarga bangsawan juga ikut membantu Meika membangun kembali kerajaan. Padahal dia hanya bercanda saat mengatakan idenya itu.

"Kepalaku sakit," gumamnya. Meskipun mengeluh, dia tetap melakukan tugasnya dengan baik. Selain itu, dia harus cepat-cepat memperbaiki kerajaan. Tujuh belas tahun telah berlalu, tetapi sistem kerajaan masih belum pulih sepenuhnya. Kehidupannya yang berubah secara drastis ini sama sekali tidak membuatnya terbiasa. Memikirkan itu, Meika menjatuhkan kepalanya di atas meja. Pipinya mengembung dengan napas yang keluar dari hidungnya. "Kalau begini terus, pernikahanku dan Heiz akan tertunda lagi." Meika memutar kepalanya ke samping dan seketika tubuhnya tersentak karena mendadak wajah orang yang dia pikirkan muncul di depannya.

"Aaa!" Teriakan Meika yang melengking membuat orang di depannya terkejut hingga dia hampir terjatuh dari kursinya. "Ini aku, Meika." Mata Meika membesar. "Sejak kapan kau di sini?"

"Baru saja."

"Benarkah?"

Ryu mengangguk pelan. Kemudian, dia melihat ke arah meja dimana banyak buku dan kertas berserakan. "Sedang belajar?" tanya Ryu tanpa melihat Meika. Dia mengambil salah satu kertas dan membacanya. Meika membenarkan duduknya dan menjawab pertanyaan Ryu. "Ya, sekaligus menandatangani beberapa hal." Ryu mengangguk pelan. Selesai membaca satu kertas, dia mengambil yang lainnya. Dengan teliti membaca setiap detail kalimat yang tertulis di sana. Keduanya diam dan fokus menyelesaikan beberapa hal yang harus segera ditandatangani. Berkat bantuan Ryu, Meika hampir menyelesaikan semua tugasnya.

Tak terasa matahari akan segera terbenam. Duduk terlalu lama membuat pinggang Meika terasa kaku. "Ayo, keluar," ajak Ryu. Dia segera merapikan kertas dan buku-buku yang berserakan. Kemudian berdiri dari duduknya sambil menjulurkan tangan pada Meika. "Ke mana?" tanya Meika, tetapi tetap menyambut uluran tangan Ryu. "Jalan-jalan." Keduanya pergi keluar bersama-sama. Karena sebentar lagi akan gelap, mereka tidak pergi terlalu jauh.

Karena rumah Wizard yang sekarang ditinggali oleh Jiro dekat dengan kerajaan, mereka memutuskan untuk mengunjungi lelaki itu. Setibanya di sana, mereka melihat Tetua Gon Gon dalam bentuk pria tua duduk di depan rumah sambil menikmati secangkir teh. "Menikmati hari tua dengan hangatnya teh di sore hari?" Meika langsung memberikan pertanyaan begitu dia menaiki tangga rumah. Di belakangnya, Ryu hanya tersenyum tipis melihat Tetua Gon Gon memasang wajah masam. "Pulang kau," hardiknya, "mengganggu mataku saja." Lalu dengan santai menyesap tehnya lagi.

Meika terkekeh-kekeh. Rumah Wizard tidak berubah sama sekali. Tiap sudutnya terlihat bersih tanpa debu. Sepertinya, Jiro rajin membersihkan tempat ini. "Ah, Putri Meika, Tuan Ryu. Tunggu sebentar, aku akan mengambil kursi." Jiro baru saja selesai memeriksa tanaman di halaman belakang dan melihat kedatangan dua tamu lain. Dia buru-buru mengambil kursi, tetapi Ryu dan Meika menahannya. "Tidak perlu," kata Ryu. "Ya, kami hanya sebentar saja," timpal Meika.

Jiro keluar kembali. "Ah, mau minum?" tanyanya. Meika dan Ryu menggeleng lagi. Mereka berempat masuk ke dalam pembicaraan panjang. Membahas ini dan itu. Sesekali mereka mengungkit kejadian di masa lalu saat pemberontakan dimulai. Lalu, berakhir dengan mengingat kematian Raynine Rockland. "Dia terlalu lelah selama ini," kata Jiro. Lelaki itu memang tidak lama menemani Wizard. Namun, hari-hari yang dia lalui bersama pria tua itu telah mengukir kenangan indah dalam ingatannya. Tetua Gon Gon mengangguk setuju. "Dia kesepian." Rubah tua itu melihat Jiro, "hidup sendiri itu tidak enak."

Meika mengerti maksud dari perkataan Tetua Gon Gon. Tinggal sendirian dalam waktu lama di dunia yang tidak baik-baik saja itu sangat melelahkan. "Ada apa dengan suasana suram ini?" Dari kejauhan, mereka mendengar suara yang tak asing di telinga mereka. Ketika menoleh, mereka melihat sosok yang bertanya itu adalah Barbara. Dia datang bersama dengan Reivan. "Tidak ada. Dari mana kau?" tanya Meika. "Dari wilayah Werewolf. Tetua Gon Gon, sepertinya kau selalu ada di sini." Tetua Gon Gon mendengus. "Aku tinggal di sini."

"Sejak kapan? Jiro, mengapa kau membiarkan rubah tua ini tinggal bersamamu?" Jiro yang ditanyai seperti itu hanya tertawa canggung. "Perlu kuambilkan kursi?" Barbara menggeleng. "Tidak perlu. Kebetulan kalian semua ada di sini. Aku ingin memberitahukan bahwa minggu depan aku dan Reivan akan menikah."

"Ha?" Meika berteriak sendiri, "cepat sekali?" Barbara mengerutkan keningnya. "Cepat apa? Kau pikir berapa umurku sekarang?"

"Tidak, maksudku ... ah, lupakan." Meika mendecakkan lidahnya dan mengajak Ryu pulang dengan alasan langit sudah menggelap. Sementara itu, Barbara dan Reivan juga berpamitan pada yang lainnya. Di perjalanan pulang, Meika sama sekali tidak berbicara. Ryu menyadari gelagat aneh wanita di depannya. Dia segera menarik tangan Meika. "Apa?" tanya Meika sedikit ketus, tapi tetap menjaga ekspresi wajahnya. "Kau marah?" Ryu balik bertanya.

"Tidak."

"Wajahmu mengatakan iya."

"Tidak. Wajahku baik-baik saja."

Ryu tertawa kecil. "Kau tidak bisa menyembunyikan kekesalanmu. Katakan padaku, apa yang membuatmu kesal?" Ditanya seperti itu, Meika membuang mukanya ke samping. Dia menutup mulutnya rapat-rapat, tetapi Ryu memegang pipinya. Mengarahkan wajahnya agar melihat pria itu. "Kau kesal karena Lady Barbara akan menikah dengan Duke Lazarus?" Tebakan Ryu tepat sasaran. Meika membuang mukanya lagi, tetapi tangan Ryu menahannya.

"Meika. Kau tahu mengapa aku belum menikahimu?"

"Karena aku belum bisa memperbaiki kerajaan seperti semula." Ryu menghela napasnya, dia tersenyum. "Ya. Aku tidak ingin masyarakat protes karena pernikahan kita dilaksanakan saat kerajaan belum pulih sepenuhnya." Meika menunduk. Dia juga tahu tentang itu, tapi apa yang harus dia lakukan? Selama ini, dia tidak tahu apa pun tentang kerajaannya sendiri. Melihat tunangannya sedih, Ryu memeluk wanita itu dengan lembut. Mengelus rambutnya pelan. "Tidak masalah. Aku selalu membantumu. Sedikit lagi, kerajaan akan kembali normal." Di dalam pelukan Ryu, Meika mengangguk ringan. Ryu melepaskan pelukannya. Melihat Meika yang sudah tidak lagi kesal. Dia mengacak-acak rambut wanita itu.

"Jika kau mau, kita bisa menikah tahun depan."

"Ha?" tanya Meika tidak mengerti. Ryu tertawa, lalu berjalan mendahului Meika. "Kau kira aku tahan seperti ini terus? Tentu saja aku meminta pada orangtuaku untuk menikahimu. Lagi pula, urusan kerajaan tak lama lagi selesai. Masyarakat juga tidak memiliki keluhan apa pun lagi." Dia memutar tubuhnya menghadap Meika yang kebingungan. Dia memberikan senyuman tulus pada wanita itu. "Kau telah berusaha keras selama ini. Terima kasih." Perlahan, air mata bahagia mengalir di pipinya.



Bab Ekstra 2:

Usaha Keras Seorang Pemimpin Baru

SELESAI

Through the DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang