Bab CVII. Pertemuan Ayah dan Anak

226 40 0
                                    

Bagian dalam kerajaan Rufus Ignis sudah tak lagi berbentuk. Tembok batu hancur dan membuat lubang besar di sana. Kini, mereka dengan jelas melihat keadaan yang terjadi di luar. Ketegangan menyeruak di seluruh penjuru ruangan. Perselisihan antara dua kubu masih terus berlanjut. Cordelia dilindungi oleh beberapa orang dari keluarga Lazarus setelah Kara, Reivan, dan Barbara menghabisi semua pasukan yang melindunginya.

Reivan dan Barbara memilih Akvan sebagai lawan mereka, sedangkan Kara menghadapi keluarga Lazarus. Api biru yang dimiliki para Lazarus tidak main-main. Berada di dekat bayangannya saja sudah terasa panas. Kara tidak bisa menyerang mereka dari jarak dekat. Bertarung di dalam ruangan tidak membawa keuntungan besar untuknya. Menggunakan elemen tanah membutuhkan waktu yang lama dikarenakan lantai batu di bawahnya. Jadi, Kara memancing mereka keluar dengan berpura-pura melarikan diri.

"Habisi dia!" Cordelia berteriak. Para Lazarus mengangguk patuh, kemudian sama-sama mengejar Kara yang telah berlari dari lubang dinding yang hancur. Ketika dia berlari keluar, Kara melihat ke sampingnya. Kemelut pertempuran terlihat mengerikan. Rumput hijau telah berubah warna menjadi merah dan hitam. Area pintu depan kerajaan Rufus Ignis sesak dengan banyaknya pertarungan. Kara melihat ke belakang dan mendapati para Lazarus mengikutinya. Dia membawa mereka agak jauh dari pertempuran di depan sana. Begitu dia menemukan bidang tanah yang luas tanpa pepohonan, Kara menghentikan larinya. Lensa matanya seketika berubah warna menjadi perak. Tangannya menggengam erat belati Half Moon, kemudian dalam sekali gerakan berputar; Kara menghentakkan Half Moon sebanyak tiga kali sampai benda itu berubah bentuk menjadi Sabit Kematian.

Para Lazarus di barisan depan terlambat memberi respon. Sapuan angin tajam dari tebasan Sabit Kematian menggores dada mereka. Menciptakan luka dalam hingga darah segar dimuntahkan. Kara menjatuhkan tubuhnya dengan lutut kiri bertumpu pada tanah, sementara telapak kaki kanan dan tangan kirinya menginjak permukaan tanah. Mata Kara menatap tajam para Lazarus yang tersisa. Masih ada sekitar dua puluh dari mereka. Dia telah menghabisi sekitar tujuh atau sepuluh orang. Kara tidak menghitungnya dengan pasti. Sepertinya, anggota keluarga Lazarus lain yang berkhianat juga tengah melawan musuh di depan sana.

Rekan mereka telah dibunuh dalam sekejap mata. Lima dari mereka maju ke depan beberapa langkah. Menyemburkan api biru yang bisa memberikan luka bakar yang sulit disembuhkan. Jangkauan serangan mereka luas. Kara tidak sempat mengelak. Dengan cepat dia menghentakkan kakinya, membawa tanah naik ke permukaan. Membentuk benteng yang menahan panasnya api biru.

Salah satu dari kelompok Lazarus memberikan isyarat untuk menyerang Kara dari tiga sisi. Atas, kiri, dan kanan. Tiga dari mereka mengangguk. Kemudian berlari secepat kilat, mengejutkan Kara dari arah yang tidak dia duga. Mata perak Kara melebar. Dia tidak memperhitungkan kelemahan dari benteng yang dia buat. Kara berlutut, kemudian menepuk kuat bidang tanah dengan kedua tangannya. Menutup dua jalur yang dilalui dua musuhnya. Akan tetapi, Kara terlambat menyadari bagian atasnya. Lazarus yang lain melompat dari atas benteng. Tangannya mengepal, bersiap mengeluarkan api dari sana. Tanpa sadar otak dan tubuhnya membeku. Mendadak dia menjadi bingung harus ke mana dia melarikan diri.

Angin berhembus, rumput pun bergoyang. Sekelebat bayangan melesat laju melewati kumpulan antek-antek Cordelia. Melejit di satu garis lurus, menghantam tepat mengenai Lazarus yang akan mencelakai Kara. Dua Vampire lainnya yang berada di sekitar benteng Kara pun menjadi sasaran kepalan tangannya. Menerbangkan mereka jauh-jauh dari sana. Karena terkejut dengan bayangan cepat dari atas kepala mereka, para Lazarus menghentikan serangan api mereka untuk melihat lebih jelas siapa yang telah mengganggu penyerangan mereka. Sementara itu ... Kara tersadar dari kebingungannya. Benteng tanah dia jatuhkan.

Di balik pelindung tanah yang dia buat, berdiri sosok pria gagah dengan penampilan yang tidak berbeda dari 100 tahun lalu. Kara menatapnya terkejut. "Ayah?" Xavier tersenyum tipis. "Aku mendengar dari seseorang bahwa kau datang. Kara, apakah Ayah harus bangga padamu atau memukulmu terlebih dahulu?" Perasaan gelisah yang menempel kuat di hatinya telah terlepas. Rasanya dia ingin menangis kencang dan memeluk ayahnya dengan erat. Namun, Kara segera menyadari jika saat ini bukanlah situasi yang tepat untuk melakukan pertemuan yang mengharukan.

Through the DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang