Pernikahan yang dinanti pun tiba. Kerajaan Vampire yang telah berpindah tempat ke daerah yang lebih dingin membuat banyak tamu undangan merasa kedinginan. Meskipun begitu, acara pernikahan berlangsung lancar. Kini, Barbara dan Reivan resmi menjadi pasangan suami istri.
"Tidak! Aku didahului lagi!" Meika berteriak kesal sambil meminum arak yang disediakan oleh Lord Kenzi. Padahal Ryu sudah melarang wanita itu menerima gelas berisi arak. "Meika, kau mabuk?" tanya Ryu. Meika menggeleng, tapi mukanya sudah memerah. Ryu menggelengkan kepalanya dan langsung menggendong Meika. "Kami pulang dulu. Maaf tidak bisa lama. Sekali lagi selamat atas pernikahan kalian." Barbara mengangguk dan membiarkan Ryu membawa pulang Meika. Wanita itu telah hilang kesadaran sepenuhnya.
"Selamat untuk kalian berdua. Ini hadiah kecil dariku." Chloe memberikan hadiah yang dia katakan kecil, tetapi aslinya berukuran sebesar lemari pakaiannya. Hadiah tersebut dibawah oleh penjaga untuk diletakkan di tempat lain. Kara dan juga Aliora ikut memberikan selamat pada Barbara. Hadiah yang mereka bawa juga sama besarnya dengan Chloe. Akan tetapi, Kara membawa hadiah tambahan. "Apa ini?" tanya Barbara dengan kerutan di keningnya.
"Pisang."
"Ya, aku tahu. Kenapa banyak sekali?"
"Untuk peliharaanmu, tentu saja."
Barbara mendecakkan lidahnya. Lalu memanggil seorang pelayan untuk memindahkan satu keranjang besar berisi pisang yang diberikan oleh Kara. Sepertinya Werewolf itu masih kesal karena kejadian di masa lalu. Padahal itu sudah lama berlalu.
Acara selesai tepat tengah malam. Para tamu undangan telah pulang, menyisakan tuan rumah yang lelah tersenyum seharian ini. "Kau mau mandi atau aku dulu?" tanya Reivan. Mereka terlalu lelah, bahkan untuk sekadar berganti pakaian. "Kau saja. Aku lelah berjalan."
"Baiklah." Reivan pergi ke kamarnya sendiri untuk mandi. Karena mereka baru menikah hari ini, dia belum sempat memindahkan barang-barangnya ke kamar Barbara. Daripada membawa sepotong baju, lebih baik dia mandi di kamarnya. Setelah selesai, Reivan baru kembali ke kamar Barbara.
Saat dia masuk, Barbara sudah selesai berbenah. Reivan otomatis bertanya, "Aku pikir kau tidur sebentar." Barbara menggeleng. Dia sudah menjatuhkan dirinya di atas kasur. "Nanti aku malas untuk bangun lagi. Gaun itu membuatku gerah." Reivan tersenyum. Dia mendekati Barbara dan merebahkan dirinya di samping wanita yang telah resmi menjadi istrinya. Sejujurnya, Barbara saat ini sangat canggung. Status mereka yang telah berubah membuat jantungnya berdetak kencang. Dia bingung harus bersikap seperti apa sekarang.
"Kau gugup?" tanya Reivan. Pria itu tidur terlentang. Kedua tangannya lurus di sisi tubuhnya. Pandangannya pun sama lurusnya seperti kedua tangannya. Barbara menelan ludahnya. Dia yang awalnya tidur menyamping, kini mengikuti posisi Reivan. Bedanya, dia menarik selimut untuk menutupi sebagian wajahnya. "Aku sangat gugup. Kepalaku juga pusing sekarang." Dia menoleh ke samping untuk melihat Barbara. Wanita itu pun ikut memalingkan pandangannya pada Reivan. "Kau lelah?" tanya Reivan, "istirahatlah. Aku tidak akan melakukan apa pun." Barbara mengedipkan kedua matanya. Dia bersyukur Reivan menyuruhnya beristirahat, tapi dia juga merasa bersalah pada pria itu.
"Apa tidak masalah bagimu?" tanya Barbara. Reivan menggeleng pelan. "Aku tahu kau lelah. Masih ada hari lain." Dijawab seperti itu, pipi Barbara mendadak panas. Dia membuang mukanya dan kembali melihat langit-langit kamarnya. Reivan tersenyum tipis. Kemudian, dia memiringkan tubuhnya untuk melihat Barbara dengan jelas. "Kenapa ... kenapa melihatku?" tanya Barbara. Suaranya sedikit teredam oleh selimut.
"Aku hanya melihat istriku."
"Kau ... ." Barbara langsung menyembunyikan seluruh wajahnya di dalam selimut. Hal itu membuat Reivan tertawa lebar. Barbara membuka selimutnya dan melihat Reivan yang tertawa puas setelah menjahilinya. "Tidak adil." Reivan mencoba menghentikan tawanya. "Tidak adil apa?" Barbara cemberut, lalu merapatkan selimut. Kembali melihat ke atas. Suasana mendadak hening. Reivan masih menatap Barbara, sementara yang ditatap sengaja menghindari pandangan Reivan.
"Barbara," panggilnya.
"Ya?"
"Aku masih belum terbiasa dengan nama barumu."
"Biasakanlah. Aku tidak ingin menggunakan nama lamaku."
"Ya, aku tahu."
Kembali hening. Namun, tak lama karena Reivan kembali bersuara. "Apa kau bahagia menikah denganku?" Pertanyaan itu berhasil membuat Barbara melihat ke arah Reivan. "Kenapa kau tanya begitu?"
"Hanya bertanya." Barbara menatapnya sebentar sebelum kembali melihat langit. "Aku tidak akan menikah denganmu jika tidak bahagia."
"Benarkah?"
"Kenapa banyak sekali pertanyaanmu." Reivan tertawa lagi. "Agar aku bisa berbincang denganmu. Jika aku diam, kau juga akan diam. Kegugupanmu itu tidak akan hilang hanya dengan mendiamkanku." Barbara menarik lagi selimut untuk menutupi sebagian wajahnya. "Tidak seperti itu."
"Lalu?"
"Ya, terserah kau. Aku lelah menjelaskan." Reivan tertawa lagi. Menjahili istrinya adalah hobi baru yang dia miliki sekarang. Lalu, kamar mereka kembali sunyi. Hanya terdengar suara angin dari luar jendela dan juga suara napas mereka. "Barbara." Reivan memanggilnya lagi. "Ya?" jawab Barbara singkat. Matanya mulai terasa berat. Reivan diam sejenak. Dia ragu-ragu untuk bertanya, tetapi dia harus menuntaskannya sekarang. Oleh karena itu, dia memberanikan diri untuk bertanya. "Apa kau ... masih harus memenuhi janji dengan Diabolos penjaga Hutan Dalinis itu?" Mendengar pertanyaan Reivan, seketika mata Barbara tidak lagi berat. Dengan pelan dia mengubah posisi tubuhnya menghadap Reivan. Kini, mereka berdua saling berhadapan.
"Kenapa? Kau ingin aku melanggarnya?"
"Bisakah?" tanya Reivan sendu. Barbara menggeleng. "Tidak bisa. Aku telah berjanji." Reivan sudah menduga jika Barbara akan menjawab seperti itu. "Lalu, kau harus berjanji padaku. Jangan berikan jiwamu sebelum aku mati." Barbara mengangguk. "Ya. Aku janji." Reivan menghela napas lega. Lalu, dia mendekatkan dirinya lebih dekat pada Barbara. "Sudah malam. Ayo, tidur. Mendekatlah agar aku bisa memelukmu." Dengan malu-malu, Barbara menggeser dirinya lebih dekat. Reivan dengan cepat meraih tubuh Barbara untuk dia peluk dengan erat. "Kau sudah berjanji," bisik Reivan. Di dalam dekapannya, Barbara mengangguk lagi. "Ya. Aku berjanji."
Bab Ekstra 5:
Bersama Hingga Akhir
SELESAI
KAMU SEDANG MEMBACA
Through the Dark
FantasyRibuan tahun yang lalu, dunia dikuasai oleh kaum yang memiliki kekuatan super. Kaum Werewolf, Vampire, Witch, Mermaid, dan Fairy. Di saat keadaan dunia tengah berada dalam kedamaiannya, kaum Vampire bergerak membantai seluruh Werewolf dan bermaksud...