1

53K 2.6K 177
                                    

"Kalau kamu begini terus, lebih baik kamu Abi nikahkan saja."

Dinar yang masih mengantuk karena semalam pulang pagi tiba-tiba terperanjat. Ini masih di alam mimpi atau apa?

"Nggak bisa gitu dong, Bi. Masa gara-gara pulang malam, besoknya langsung dinikahkan? Itu nggak adil namanya." Dinar langsung protes keras.

"Ralat, bukan pulang malam, tapi pulang pagi! Ingat, semalam kamu pulang jam 2 pagi."

Haji Arifin sangat frustasi melihat ulah putrinya. Ia adalah dai ternama di kotanya, pendiri pondok pesantren pula. Mendidik anak orang lain ia mampu, tapi mengapa mendidik anak sendiri begitu sulit? Kata orang, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, tapi ini kenapa lain kasusnya?

Dari ketiga anaknya, hanya si bungsu Dinar yang kelakuannya sungguh nauzubillah. Anak pertamanya, Thoriq, saat ini kuliah di Kairo, prestasinya tidak usah diragukan lagi. Puteri keduanya, Zaskia, adalah kembang pesantren yang cemerlang dari segi paras dan kepribadian. Belum lulus kuliah sudah beberapa kali dilamar anak kiai ponpes sebelah.

Sedang Dinar? Entah apa yang salah dengan putrinya yang satu itu. Haji Arifin tak habis pikir, darimana datangnya sifat pembangkang yang dimiliki Dinar.

Dinar kembali membaringkan tubuhnya, matanya terasa sangat berat, kelopak matanya seperti lengket satu sama lain. Haji Arifin yang melihat kelakuan putrinya menjadi kesal. Ia segera melepas pecinya dan memukuli kaki Dinar menggunakan peci itu.

"Sholat subuh dulu!"

"Iya-iya." Dinar yang merasa tidurnya terganggu menjadi kesal.

"Astaghfirullah." Haji Arifin meninggalkan kamar Dinar sambil mengelus dada. Kalau tidak ingat bahwa anak adalah titipan dari Allah, sudah dari dulu anak itu ia serahkan ke pegadaian.

***

"Mi, kamu dulu waktu mengandung dia ngidam apa?" tanya Haji Arifin sembari menghampiri istrinya di dapur.

"Kenapa lagi, Bi?" tanya Hajjah Hamidah sambil membalik pisang goreng di wajan.

"Anak bungsu kamu itu, masyaallah ... Abi nggak sanggup mendidiknya." Haji Arifin mengeluh sambil mencomot pisang goreng yang masih panas.

"Jangan bilang gitu, Bi. Jelek-jelek gitu dia anak kita, amanah dari Allah." Hajah Hamidah berusaha mengingatkan suaminya.

"Apa nggak sebaiknya kita nikahkan dia saja? Biar ada yang membimbing dia. Sungguh, rasanya Abi nggak sanggup lagi. Abi udah tua. Kalau sewaktu-waktu Abi meninggal, Abi bisa tenang karena sudah ada yang membimbing anak itu."

Hajjah Hamidah kasihan melihat sang suami. Hampir setiap malam suaminya ditemani Sardi, sang supir, berkeliling mencari Dinar yang keluyuran.

"Masih kecil dia, Bi. Belum lulus SMA. Lagian kasihan juga laki-laki yang jadi suami dia."

"Sebenarnya Abi udah punya calon buat dia." Haji Arifin mengingat ada seseorang yang bisa ia percaya.

"Hah? Siapa, Bi?" Hajjah Hamidah terlihat sangat antusias. Ia segera mematikan kompor dan mengajak suaminya duduk di ruang tengah.

Haji Arifin menjawab sambil mengunyah pisang gorengnya. "Adalah, anak pondok. Orangnya kelihatan jujur, amanah, shiddiq, fatonah ...."

"Itu orang apa nabi, Bi?" Hajjah Hamidah memotong ucapan suaminya.

Haji Arifin hanya bergeming mendengar celetukan istrinya. "Sepertinya hanya dia yang bisa membimbing Dinar. Abi percaya sama dia." Haji Arifin mengangguk mantap.

Hajjah Hamidah nampak berpikir sejenak. "Tapi, gimana sama Kia, Bi? Apa kata orang kalau dia dilangkahi adiknya?"

Haji Arifin menjawab keresahan istrinya nya. "Itu biar menjadi urusan Abi. Lagipula bukannya dia mau nerusin S2 ke Kairo?"

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang