37

9.8K 958 1
                                    

Malam ini Dinar belajar sangat keras, ia bertekad lulus mata pelajaran Fabian. Sebenarnya ia masih sakit hati karena Fabian mengatainya tempo hari.

"Tidur, Din. Kamu nggak capek apa dari sore belajar terus?" tanya Azzam sambil menguap.

"Tanggung, Mas."

Dinar menjawab sambil tetap fokus ke buku tebalnya yang sudah seperti ensiklopedia. Buku anak hukum memang tidak ada yang tipis seperti buku sidu.

Azzam yang perhatian segera berlalu ke dapur, hendak membuatkan minuman hangat untuk istrinya.

"Makasih, ya, Mas," ujar Dinar, ketika Azzam meletakkan segelas teh hangat di depannya. Ia meminumnya sedikit untuk menghargai suaminya yang dengan susah payah menuang air dari termos.

"Ada yang bisa aku bantu?" Azzam menawarkan bantuan.

"Nggak ada, Mas. Aku lagi hafalin pasal-pasal aja. Kamu kalau udah ngantuk, tidur aja duluan."

"Emang nggak papa?" Azzam merasa tak enak hati.

Dinar melihat ke arah jam dinding merek Phsyco di depannya. "Iya. Kayaknya aku bakalan begadang, deh."

Azzam tak setuju dengan ide istrinya. "Jangan begadang. Nanti kamu masuk angin."

"Habis, gimana? Aku udah berkali-kali remidi. Pak Fabian itu pelit banget ngasih nilai. Padahal aku ini 'kan mantannya." Dinar mengadu pada Azzam.

"Lebih baik kamu tidur, nanti bangun malam sekalian tahajud sama saya. Setelah itu baru belajar lagi. Gimana?" Azzam memberi usul.

Akhirnya Dinar mengikuti saran Azzam. Ia segera pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Setelah itu ia naik ke ranjang.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Mas, aku jadi khawatir sama Adel, deh."

"Dia kenapa?" tanya Azzam dengan mata tertutup.

"Dia kayaknya beneran suka sama ustadz Fahri. Sekarang dia jadi rajin ikut kajian." Dinar jadi bersalah karena mengajak Adel ikut kajian Ustadz Fahri.

"Bagus dong."

"Masalahnya, Ustadz Fahri suka juga nggak sama dia?"

"Mana saya tau. Jangan memikirkan urusan yang nggak ada hubungannya sama kita." Azzam menasihati istrinya.

"Aku cuma takut dia kecewa, Mas. Terus kena mental. Kalau sampai dia murtad, gimana?"

Azzam tersenyum, ia merasa kekhawatiran istrinya terlalu berlebihan. "Cukup nasihati dia. Perkara dia mendengarkan atau tidak, itu bukan urusan kita. Tugas kita sudah selesai sampai di situ. Kamu nggak bertanggung jawab dengan kehidupan dia. Kamu bukan orang tuanya. Setiap orang menanggung amal ibadahnya masing-masing. Paham?" kata Azzam seraya mencubit pipi istrinya dengan gemas.

Dinar tampak berpikir, ada benarnya juga ucapan suaminya. Adel sudah cukup dewasa untuk menentukan masa depannya. Dinar tak berhak mengkhawatirkan terlalu berlebihan. Pangkatnya hanyalah sebagai sahabat.

"Tapi, Mas ...."

"Tidur, ya. Saya ngantuk banget. Besok pagi-pagi sekali saya harus menikahkan orang." Azzam menutup sesi konsultasi itu.

***

Sepulang dari kampus, Dinar segera pergi ke ruang orang tuanya. Tadi ummi menelponnya, menyuruhnya agar datang ke sana. Di jalan Dinar sempat membeli buah naga kesukaan ummi, sebagai buah tangan.

"Assalamualaikum, Ummi."

Dinar langsung saja masuk. Keadaan rumah tampak sepi. Ia menuju kamar ummi, mungkin beliau sedang menderas Al-Qur'an di kamar.

Ketika pintu terbuka tampak ummi yang menangis. Sambil memeluk sesosok wanita entah siapa. Di pangkuan wanita itu ada seorang anak kecil berusia sekitar dua tahunan. Anak laki-laki yang tampan. Tapi wajahnya mengingatkan Dinar pada seseorang.

Siapa, ya? Dinar berusaha keras menggali ingatannya.

***

Hayo, siapa dia? Jangan-jangan istri simpanan Haji Arifin hehe ....

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang