Adel dan Dinar duduk berdampingan menyaksikan akad nikah Kia. Sedari tadi Dinar tak henti menangis. Adel sudah lelah membujuknya.
"Udah, jangan nangis terus, Din. Maskara lo belepotan kemana-mana." Adel mengelus punggung sahabatnya.
Dinar masih terisak, tak menghiraukan himbauan Adel. "Memangnya apa, sih, yang lo tangisin? Lo nyesel karena mantan lo sekarang jadi kakak ipar lo?" tanya Adel gemas.
"Sembarangan lo! Gue nangis karena terharu. Akhirnya kakak gue dapat jodoh. Mana mas kawinnya bejibun. Gue dulu cuma dapat lima ratus ribu."
Fabian memang tidak main-main dalam memberikan mas kawin. Ia memberikan semua asetnya, dari apartemen, deposito, hingga mobil kepada Kia.
"Lo, sih. Sekarang aja nyesel." Adel malah menabur garam di luka Dinar.
"Gue nggak nyesel, cuma ...."
"Cuma apa?" kejar Adel.
Dinar hanya diam. Ia juga bingung, untuk apa ia iri dengan Kia? Azzam juga bukan laki-laki yang buruk. Seharusnya Dinar malah bersyukur. Walau mas kawin yang didapat kecil, tapi pria berilmu seperti Azzam lebih berharga.
"Sudah, jangan disesali mas kawin lo yang cuma gopek itu, ya. Itu semua tergantung amal ibadah masing-masing. Kak Kia itu solehah, makanya dapat suami tajir hehe ...."
Ucapan Adel membuat Dinar semakin kesal. "Lo sendiri, Del. Dikasih ustadz Fahri mas kawin berapa?"
"Gue nggak tau. Gue, sih, sedikasihnya aja. Gue cuma berpesan, kalau bisa ada seperangkat alat sholat." Adel berkata dengan bijak, membuat Dinar tak percaya.
"Del, lo sekarang berubah jadi bijak banget," puji Dinar.
"Haruslah. Calon istri ustadz, nih." Adel berkata dengan bangganya.
"Nggak nyangka ya, Del. Kita yang begajulan ini dapat jodoh ustadz. Kata abi, jodoh adalah cerminan diri. Dulu gue ngira bakal dapat jodoh preman, yakuza atau paling nggak bandar narkoba."
"Ih, amit-amit! Gue mah nggak mau. Minimal jodoh gue jamet tik-toklah." Adel malah cengengesan lagi.
Tiba-tiba Adel teringat sesuatu. "Din, lusa kalau datang ke nikahan gue, lo jangan pakai maskara deh. Ntar kalau lo nangis jadi jelek banget kayak gini. Sumpah, nggak ngenakin banget dilihatnya. Apalagi difoto."
"Kayaknya gue nggak bakal datang ke nikahan lo, Del." Dinar pura-pura berkata dengan sedih.
"Kejam lo! Gue 'kan bestie lo? Keenakan lo, nggak usah ngasih kado ke gue."
"Nanti gue kirim lewat kurir aja, ya?" Goda Dinar.
"Jadi beneran, lo nggak bakalan datang? Tega banget lo! Emang, se wow apa kado lo, hah?" Adel mulai terpancing emosi. Ia kecewa sahabat satu-satunya malah tak datang ke akad nikahnya.
"Nanti gue kasih kado sprei Bonita." Dinar cengengesan, membuat Adel kesal.
"Kalau lo nggak datang, gue nggak mau nikah." Ancam Adel.
"Yakin? Nanti kalau mempelai wanitanya diganti cewek lain, gimana?"
"Nggak mau lah. Pokoknya gue nggak mau tau, ya, Dinar. Lo harus datang, mau ada badai topan atau gunung meletus, selagi nyawa masih ada, lo harus datang!"
"Iya, Del. Tadi gue cuma bercanda kok. Mana mungkin gue nggak datang ke nikahan sahabat gue." Dinar tak bisa lagi menahan tawa. Senang sekali karena berhasil menggoda Adel.
"Janji?"
Dinar mengangguk, kemudian ia berkata dengan sendu sambil memeluk Adel. "Nggak kerasa ya, Del. Perasaan baru kemarin kita lulus SMA. Sekarang kita udah punya kehidupan sendiri-sendiri. Kita pernah nakal bareng, sekarang kita hijrah bareng. Semoga kelak, kita bisa masuk surga bareng."
"Kalau gue masuk neraka?" tanya Adel polos.
"Lo jangan nyapa gue."
*** End ***
Gimana, Gaes, endingnya? Bagus bukan? 😁😁😁
Semoga cerita ini ada manfaatnya, ya. Gue bukan bermaksud menggurui, gue cuma nyoba bikin tulisan yang ada gunanya. Kalau ada kesalahan, mohon koreksinya.
Eniwei, makasih buat kalian semua yang udah luangin waktu buat baca. Buat yang sider juga, halo ... makasih udah baca.
Buat yang rajin vomen, kalian hebat. Gue sayang kalian.
Segitu aja, Gaes. Sampai jumpa di cerita gue selanjutnya. (Kalau ada hehe ....)
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.