"Kenapa kamu ada di sini?" Haji Arifin murka melihat kedatangan Fabian. Dinar segera menenangkan abi-nya. "Dia datang sama Dinar, Bi."
Mendengar penjelasan putrinya, amarah Haji Arifin semakin memuncak. "Kamu masih berhubungan dengan dia? Sopankah begitu?"
"Bukan, abi. Dia sekarang jadi dosen Dinar. Tadi dia menawarkan tumpangan untuk Dinar. Abi jangan salah paham lagi."
Haji Arifin masih diam, matanya tak beralih sedikitpun dari wajah Fabian. "Pulanglah, terima kasih telah mengantar anak saya. Ini masalah keluarga kami, kamu tak perlu ikut campur."
"Saya hanya berniat membantu, kebetulan profesi saya mendukung. Dan saya ...."
"Pulanglah, keberadaan kamu di sini makin memperkeruh masalah. Saya bisa mencari pengacara lain, di dunia ini pengacara bukan hanya kamu seorang." Haji Arifin tak mau berutang budi kepada Fabian. Lebih tepatnya ia tak mau ada sangkut pautnya dengan pria itu lagi.
"Tapi mencari pengacara untuk menangani kasus ini tidak mudah. Tak banyak pengacara yang mau membela pelaku kejahatan asusila, kredibilitas mereka akan terpengaruh oleh pandangan masyarakat awam ...."
Dinar memotong ucapan Fabian. Ia tau, ayahnya tak akan mau mendengarkan penjelasan Fabian. "Mas, kamu pulang saja. Kalau suatu saat kami memerlukan kamu, akan aku hubungi."
Fabian menuruti perintah Dinar, ia mengangguk singkat sebelum pergi. Dinar tak mengantarnya sampai ke depan, demi menjaga perasaan abi-nya.
***
Setelah tiga jam menunggu, akhirnya Azzam selesai diinterogasi, kini ia bisa dijenguk oleh keluarga. Polisi memberi waktu lima belas menit saja.
"Mas, gimana hasilnya? Kamu boleh pulang 'kan?" Dinar memeluk Azzam sambil terisak.
"Maaf, malam ini saya nggak bisa pulang. Kamu menginap di rumah abi saja, ya?" Azzam berusaha menyuguhkan seulas senyum untuk menenangkan hati istrinya.
"Kenapa bisa begini, Mas?" Dinar masih terisak di pelukan Azzam. Kedua orang tuanya hanya bisa menatap dengan pilu.
"Dinar, kamu percaya saya?" Azzam malah balik bertanya, dengan memasang wajah penuh harap.
Dinar menatap wajah suaminya yang terlihat sangat tertekan. Pedih hatinya tak usah ditanyakan lagi. Dinar mengangguk pelan. "Aku percaya sama kamu, Mas."
Azzam mengangguk lega. "Terima kasih."
"Sabar, Zam. Ini ujian dari Allah. Abi akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan kamu." Haji Arifin menepuk pundak menantunya.
"Terima kasih, Abi."
"Kamu ingat kisah nabi Yusuf yang difitnah oleh Zulaikah 'kan? Kebenaran akan selalu menang, Nak. Allah maha tau."
"Iya, Abi. Terima kasih atas dukungannya. Kalau boleh, saya ingin menitipkan istri saya." Azzam menggenggam tangan istrinya. Dinar bisa merasakan telapak tangan Azzam yang dingin.
"Jangan khawatir, Nak. Dinar adalah putri kami, tentu saja kami akan menjaganya. Kamu fokus saja dengan masalah ini, banyak-banyak berdoa dan juga bersabar."
Hati Azzam merasa sedikit tenang mendengar kata penghiburan dari mertuanya. Paling tidak, ia merasa tenang meninggalkan Dinar.
"Jangan lupa sholat. Jangan lupa doakan saya." Hanya itu pesan Azzam sebelum masuk ke selnya. Waktu lima belas menit telah berlalu dengan begitu cepat.
Dinar hanya bisa memandang punggung suaminya yang pergi dengan diapit petugas. Ia tak tau sampai kapan suaminya akan berada di tempat ini.
Dinar bertekad menghubungi keluarga 'korban' ia perlu tau duduk permasalahannya. Ia ingin meluruskan kesalahpahaman ini.
"Bi, antarkan Dinar ke rumah anak itu."
Haji Arifin menghela nafas berat. "Anak itu kini berada di rumah sakit. Kandungannya sedang bermasalah."
Bagai disambar petir di siang bolong, Dinar hanya bisa diam mendengar ucapan abi-nya. "Abi nggak salah bicara 'kan? Dia hamil?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.