30

13.4K 1.1K 4
                                    

Hari Minggu ini kegiatan Dinar hanya mencuci baju dan bersih-bersih rumah. Tadi Azzam sudah membantunya mengepel dan cuci piring.

"Din, saya tinggal nggak papa?"

Dinar menoleh ke arah Azzam, ia memperhatikan penampilan suaminya yang terlihat sudah rapi.

"Ya berangkat aja. Orang udah rapi gitu." Dinar menjawab cuek sambil terus membilas pakaian. Sebenarnya hatinya dongkol. Akhir pekan bukannya diajak jalan-jalan malah ditinggal pergi.

Azzam menyadari tingkah istrinya yang sepertinya sedang kesal, terlihat dari caranya memeras pakaian dengan kekuatan penuh.

"Beneran nggak papa?" tanya Azzam, memastikan lagi.

"Iya, udah sana. Lagian kalau aku nggak ngijinin kamu tetep mau berangkat 'kan?" Dinar berbicara dengan nada ketus.

"Tapi nanti di sana ada ustadzah Nurul, nggak papa?" tanya Azzam hati-hati, ia tak mau karena perkara sepele meletus perang dunia ketiga.

"Iya, nggak papa."

Azzam heran mendengar jawaban istrinya, ia curiga. Biasanya perempuan kalau bicara lain di mulut lain di hati.

"Saya nggak jadi berangkat aja."

Azzam berniat masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Dinar segera menyahut.

"Berangkat aja, lagian aku juga mau keluar."

"Ke mana? Ketemu dosen ganjen itu, ya?" Azzam patut curiga. Karena pria itu kerap menghubungi istrinya, dengan alasan masalah kuliah. Memang ada dosen seperhatian itu? Setau dia yang namanya dosen itu malah suka ilang-ilangan (apalagi waktu skripsi) dan jarang membalas pesan dari mahasiswa, apalagi yang tidak penting.

"Ketemu Adel."

"Kok tumben nggak marah kalau aku ketemu ustadzah Nurul?" tanya Azzam lagi.

"Buat apa marah?" Dinar menjawab santai.

"Biasanya marah."

"Oh, nggak papa. Santai aja."

"Tumben?"

"Mau kamu apa, sih? Kamu seneng liat aku marah?" Dinar geram, kalem salah, cemburuan salah.

"Bukan gitu, aneh aja. Justru kalau nggak marah jadinya nyeremin. Nanti pulang-pulang jadi masalah?"

"Enggak kok, tenang aja. Aku sekarang mau belajar santai aja. Mencintai seseorang itu nggak perlu berlebihan, sewajarnya aja. Lagipula buat apa berharap pada manusia, yang ada hanya kecewa. Kita hanya boleh berharap kepada Allah."

Azzam hanya melongo mendengar tausiah dari istrinya. Ini dia kesambet jin sumur atau bagaimana?

"Siapa yang ngajarin kamu ngomong gitu?"

"Ustadz Fahri."

"Oh." Azzam agak kesal, kalau yang ngasih tau ustadz Fahri aja, Dinar langsung nurut, langsung diamalkan. Apa karena ustadz Fahri ganteng? Jadi ilmunya cepat diserap?

"Oh, ya. Nanti aku pulang agak malam. Mau ikut kajian ustadz Fahri." Dinar sekalian minta ijin.

"Ya sudah, nanti kita barengan pulangnya," putus Azzam.

"Oh, nggak usah. Aku mau nginep di rumah ummi. Kangen udah lama nggak nginep sana."

"Tapi ini beneran kamu nggak marah 'kan?" Azzam memastikan lagi.

"Nggak, kenapa? Kamu mau aku marah?" tantang Dinar.

"Oh, nggak. Nggak papa, cuma nanya." Azzam buru-buru berlalu dari hadapan istrinya. Sebelum wanita itu benar-benar marah.

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang