Setelah jalan dan makan-makan dengan Adel, Dinar mengunjungi rumah orangtuanya. Akhir-akhir ini ia memang sering bertandang ke sana. Sejak ada Hussein di rumah itu. Rencananya, Thoriq baru kembali ke Kairo minggu depan. Lumayan masih tersisa beberapa hari lagi.
"Ummi perhatikan, akhir-akhir ini kamu sering main ke sini?" tanya Hajjah Hamidah, beliau sedang memperhatikan Dinar yang sedang bermain bola bekel dengan keponakannya.
"Kenapa? Ummi nggak senang Dinar main kemari?" Dinar mengerutkan dahi, pura-pura ngambek.
"Senang, sih. Tapi apa kerjaan rumah kamu nggak terbengkalai?" Hajjah Hamidah khawatir putrinya tak mengurus Azzam dengan baik.
"Enggak, Mi. Tenang aja. Semua dalam kondisi aman dan terkendali." Dinar tak asal bicara, ia memang sudah merampungkan semua tugasnya sebelum keluar rumah.
"Ayam udah dikasih makan?" Hajjah Hamidah teringat ayam kampung peliharaan Azzam yang jumlahnya cukup banyak.
"Udah."
"Kamar mandi udah dikuras?"
"Udah."
Hajjah Hamidah mengangguk puas. "Bagus, jangan sampai ada jentik nyamuk. Nanti bisa demam berdarah."
"Ummi udah kayak petugas penyuluhan dari puskesmas deh." Dinar terkekeh mendengar ucapan ummi-nya.
"Ngaku aja, sebenernya kamu sering kemari karena ada Hussein 'kan?"
"Hehe, iya. Abis dia lucu, sih. Dinar katain malah ketawa aja. Nggak bisa bahasa Indo, sih." Dinar mencolek pipi gembul keponakannya. Empuk, pasti karena kebanyakan minum susu unta, makan kurma dan sambosa.
"Makanya, kamu bikin sendiri dong." Hajjah Hamidah sengaja menyindir Dinar.
"Bikin apa, Ummi. Bola-bola ubi kopong lagi? Hayuklah." Dinar berkata polos. Dalam kamusnya arti bebikinan itu ya bikin makanan.
Hajjah Hamidah menggeleng melihat tingkah polos putrinya. "Kok bola-bola ubi kopong? Maksud Ummi, anak."
Dinar tampak berpikir. Tentu akan sangat merepotkan jika dirinya yang masih kuliah ini sampai hamil. Membawa perut saja sudah berat, ditambah buku hukum yang tebalnya seperti ensiklopedia.
"Kapan-kapan aja, Ummi. Dinar masih sibuk kuliah."
"Emang Azzam nggak kepingin punya anak?" tanya Hajjah Hamidah keheranan.
"Nggak tau juga, Ummi." Dinar teringat acara penyebukan mereka yang tertunda beberapa kali, karena Dinar sibuk begadang mengerjakan tugas kuliah.
Hajjah Hamidah melongo mendengar jawaban Dinar. "Kalian gimana, sih? Kan tujuan orang menikah supaya dapat keturunan."
"Nggak juga, Ummi. Dinar menikah karena abi yang maksa."
"Punya anak itu seru, tau. Ada yang bisa diajak main seharian. Dicowel-cowel kayak squishy. Nyium bau bayi aja, hati udah seneng banget. Bau bayi itu bikin nagih." Hajjah Hamidah mencium Hussein yang duduk di dekatnya. Tercium aroma bedak dan juga minyak telon.
"Em, itu ... tapi lahiran 'kan sakit, Ummi," kata Dinar ragu-ragu.
Hajjah Hamidah membulatkan mata. "Kamu takut lahiran?"
Dinar mengangguk lemah. "Katanya ... ada yang sampai meninggal."
"Nggak usah takut, Dinar. Meninggal itu sudah takdir Allah. Malah kita harus bersyukur kalau meninggal dalam keadaan melahirkan, dihitung mati syahid loh." Ummi mengelus kepala Dinar dengan sayang.
"Eng, tapi ... anak Dinar siapa yang urus? Terus, kalau mas Azzam nikah lagi ... "
Ummi tertawa mendengar ucapan Dinar yang polos. "Kalau nggak menikah lagi, kan jatuhnya malah kasihan anak kamu. Nggak ada yang rawat."
"Tapi, Dinar takut dia dapat ibu tiri yang jahat, Ummi. Emang anak Dinar bawang putih?"
"Ya Allah, anak ini."
"Pokoknya Dinar mau jadi hantu, Dinar gentayangin Mas Azzam terus. Biar nggak bisa nikah lagi." Dinar berkata berapi-api.
Ucapan Dinar malah membuat tawa Hajjah Hamidah semakin kencang. "Kayaknya kamu takut banget kehilangan dia, iya?"
"Emang nggak boleh, Ummi?"
Hajjah Hamidah berusaha menasihati anaknya. "Mencintai makhluk Allah itu nggak boleh berlebihan. Apalagi mengalahkan rasa cinta kita kepada Allah. Nanti Allah bisa cemburu."
Dinar menggaruk kepala, tak paham perkataan ummi-nya. "Maksudnya, Ummi?"
"Segala sesuatu yang kita miliki itu hanyalah titipan. Harta, anak, istri, suami. Semuanya akan diambil oleh Allah. Cintailah mereka seperlunya saja. Jangan terlalu berlebih-lebihan, karena yang berlebihan itu tidak baik."
Dinar mulai mengerti maksud perkataan ummi-nya. Tapi ada sesuatu yang masih mengganjal di pikirannya. "Em, Ummi. Dinar mau tanya, boleh?" kata Dinar, ragu-ragu.
"Tanya aja, kalau Ummi nggak bisa jawab boleh pas, ya?" Hajjah Hamidah masih sempat-sempatnya bercanda.
"Kenapa abi nggak berpoligami?"
***
Gue bukan orang yang paham agama ya, Gaes. Di sini gue hanya menumpahkan keresahan gue sebagai seorang wanita, dan juga istri.
Bukan maksudnya gue dipoligami, bukan ....
Awas aja laki gue kalau berani hehe ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.