34

10.8K 964 3
                                    

"Kamu ini niat kuliah nggak, sih? Dari semua mahasiswa, cuma kamu aja yang remidi sampai sepuluh kali." Fabian tampak serius mencorat coret kertas yang diserahkan Dinar.

Dinar hanya bisa menunduk sambil memainkan ujung sepatunya. Tadi malam ia memang tak sempat belajar. Karena diajak ustadz Azzam melakukan kegiatan lain.

"Dinar, kamu menyepelekan mata kuliah saya, ya?" tuduh Fabian.

"Tidak, Pak. Saya ... cuma tidak sempat belajar." Dinar mencoba memberi alasan, yang nampak konyol di mata Fabian.

"Memangnya semalam kamu ngapain, sampai tidak sempat belajar?" Sepertinya Fabian lupa kalau mahasiswi yang merangkap mantan kekasihnya ini telah bersuami, apalagi kemarin malam Jum'at.

"Ada suami yang harus saya rawat, Pak." Dinar semakin menundukkan kepala, wajahnya semakin memerah.

"Memangnya suami kamu kedelai Malika? Kenapa suami kamu, sakit?"

Dinar hampir tertawa mendengar pertanyaan Fabian. Ingin ia berkata, makanya kawin, Pak. Biar paham. Ngapain sih nggak kawin-kawin? Daripada jomblo terus nungguin istri orang? Perawan banyak, janda bejibun. Hadeh, bapak-bapak!

"Maaf, Pak."

Hanya itu yang bisa Dinar katakan. Kalau masih ingin selamat.

"Sepertinya kamu butuh pelajaran tambahan."  saran Fabian. Lebih ke mean, median, modus.

"Nanti saya ke Ganesha, Pak. Mau ngambil formulir."

"Bukan belajar di bimbel maksud saya. Lagian kamu ada-ada aja. Masa belajar hukum di bimbel kayak gitu."

"Lalu, kepada siapa saya berguru, Pak? Apa ke Hotman Paris?" tanya Dinar polos.

"Saya juga bisa. Saya akan mengajari kamu sampai paham." Fabian tersenyum licik dalam hati.

"Tapi, Pak ...."

"Hari Minggu jam sepuluh, di apartemen saya." Fabian berkata sambil membereskan berkas-berkasnya. Sepuluh menit lagi ia ada meeting, membahas kasus penyelundupan minyak goreng.

"Tapi, kenapa harus di apartemen, Pak? Apa nggak bisa di tempat publik saja?" Terus terang Dinar takut kalau mereka di apartemen, Fabian akan mengajarinya ilmu yang macam-macam. Yang tidak ada hubungannya dengan hukum perdata.

"Kalau tidak mau ya sudah. Diberi bimbingan gratis malah menolak."

"Saya cuma ...."

"Kalau nggak mau ya sudah. Nggak usah nuduh saya yang enggak-enggak. Kamu pikir saya dosen cabul? Kamu dulu lama pacaran sama saya juga aman-aman saja, belum sempat saya apa-apakan."

Belum sempat, ya ....

"Baiklah, Pak. Tapi saya mau tanya dulu ke suami saya. Boleh apa nggak."

"Nggak usah. Saya udah nggak mood jadi dosen pembimbing kamu. Lagipula kamu pikir sekolah hukum itu mudah? Selain kemampuan komunikasi, kamu juga harus menguasai kemampuan menganalisa dan berargumen. Kalau kayak kamu gini, paling banter lulusnya jadi notaris aja. Mental tempe." Fabian yang ngambek malah pergi meninggalkan Dinar sendiri di kelas.

***

Sepulang kuliah Dinar sudah dijemput Adel di depan universitas-nya. Dengan gembira Adel melambai ke arahnya. Mengundang tatapan keheranan orang di sekitarnya.

Dinar segera menghampiri Adel, dan menahan tangannya. "Udah, Del. Gue udah ngeliat lo 'kok."

"Oh, gini ya. Tempat belajar para tukang ngomong itu." Adel melihat sekeliling sambil manggut-manggut.

"Lawyer, Del. Enak aja ngatain tukang ngomong, mau di-somasi lo?"

"Eh, enggak-enggak. Gue nggak mau dipenjara. Gue masih pingin keluyuran hehe ...." Adel cengengesan, sambil melihat ke kanan kiri.

"Lagian yang sekolah di sini lulusnya nggak jadi pengacara aja, ada juga yang jadi notaris."

"Makanan apa 'tuh?"

"Notaris? Ituloh tukang ngurusin sertifikat tanah." Dinar mencoba memberi penjelasan yang paling simpel, yang sekiranya bisa muat masuk ke otak kecil Adel.

"Eng ... Nggak paham. Bodo ah! Mau notaris mau inventaris. Ora urus. Mending sekarang kita berangkat ngaji." Adel terlihat sangat semangat belajar mengaji dengan ustadz Fahri.

"Masih jam satu, Del. Jadwalnya kan jam dua." Dinar memeriksa arloji di tangannya.

"Gue pingin liat doi ngegelinding karpet di lantai. Seksi banget keliatannya." Adel berkata dengan wajah sumringah, seolah pemandangan ustadz Fahri yang sedang menata karpet terhampar di depan matanya.

"Ya Allah, Del. Obsesi-an benget, sih, lo." Dinar menggeleng takjub dengan tingkah sahabatnya ini.

"Ayo, Nyet. Buruan. Lagian lo kerasan banget sih di sekolahan?" kata Adel sambil terus menarik ujung baju Dinar.

"Tapi lo udah sholat belum?"

"Udah, tadi sebelum pakai make up. Ayo ah, jangan kelamaan nongkrong di sini, gue takut di-somasi."

"Tapi, gue lagi nunggu dijemput suami gue," kata Dinar sembari memeriksa ponselnya. Siapa tau ada pesan dari suaminya.

"Terus gue gimana? Kita bonceng tiga maksud lo?"

"Lo pikir cabe-cabean. Udah, kita naik grab aja. Gue WA dulu mas Azzam, supaya jangan jemput kita."

"Masa naik grab?" protes Adel.

"Terus lo mau naik apa, Maimunah? Naik oplet si Doel? Kereta kencana? Pesawat tempur? Apa kepala kuyang?" tanya Dinar kesal.

"Gue mau naik yang terakhir."

***

Jenis moda transportasi baru, kepala kuyang 😁



Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang