23

13.4K 1.2K 0
                                    

Dinar benar-benar serius dengan niatnya untuk memperdalam ilmu agama. Ia meminta abi-nya untuk dicarikan guru pembimbing.

"Kenapa nggak suamimu aja, sih?" Haji Arifin heran, toh Azzam juga lulusan Kairo.

"Nggak bisa, abi. Kalau yang ngajarin mas Azzam nanti Dinar malah nggak bisa konsen belajarnya." Bukannya belajar yang ada malah .... Terusin sendiri.

"Ya udah, mulai besok kamu belajar aja di pesantren Abi."

"Beneran Abi?" tanya Dinar antusias.

"Ijin dulu sama suamimu, sesuaikan jadwalnya. Jangan sampai kamu lalai sama kerjaan rumah."

"Iya, Abi. Sayang Abi!"

Dinar memeluk sang ayah erat, sampai terbatuk-batuk.

***

Setelah dari rumah Haji Arifin, Dinar mengajak Adel ketemuan di kafe langganan mereka.

"Din, lo kemana aja, sih? Sekarang susah banget ngajakin lo jalan?" Adel menggerutu.

"Sadar dong, gue nih udah jadi bini orang. Harap maklum kalau gue nggak bisa leluasa berkeliaran kayak dulu lagi."

"Ah, nggak asyik lo!"

"Kalau suami gue nggak ngasih ijin, bisa-bisa sepanjang jalan gue dilaknat sama malaikat, kan serem." Dinar mengulang nasihat yang pernah diberikan oleh ummi-nya.

"Udah pandai ceramah lo, kalau gini gue percaya kalau lo anak haji Arifin." Adel meledek.

"Gue sekarang lagi getol belajar agama, tau."

"Hah, yang bener lo? Wah, tumben banget, kayaknya tanda-tanda hari kiamat nih?" cibir Adel.

"Malah ngeledek gue lo! Kalau lo mau belajar, sekalian ayo bareng gue. Daripada lo luntang lantung nggak jelas. Kuliah kagak, kawin kagak. Biar ada faedahnya dikit idup lo."

Adel tampak berpikir sejenak, boleh juga ide Dinar. Daripada dia nganggur di rumah, malah dimintai tolong ayahnya menjaga toko material mereka.

"Hayuk lah. Mulai besok, ya?"

"Oke, lo chat aja gue."

"Oh, iya gue mau curhat. Kemarin masa bokap gue bawa cowok buat bakal jodoh gue," Adel mengadu.

"Cakep nggak?"

"Cakep apaan? Udah tua, norak pula. Kalau gadun model kayak Fabian sih gue embat aja. Lah, ini ..." Adel bergidik.

"Buncit, ya?"

"Pokonya norak banget lah, udah giginya diportal kek pagar kecamatan, pake softlens warna biru kek permen relaxa, dipikir biar kek bule apa?"

"Parah banget lo ngatain orang. Kalau beneran dia jodoh lo, gimana? Namanya jodoh orang 'kan siapa yang tau. Kayak gue sama suami gue."

"Nah 'tuh dia. Lo mah beruntung banget dapetin suami lo. Gue juga mau kalau modelnya kayak dia. Kalau yang ini mah, mending gue pindah provinsi daripada dijodohkan sama dia."

"Ih, kok lo malah mupeng sama laki gue, sih? Jangan sampai kek sinetron ikan terbang, suamiku direbut sahabat karibku. Nggak lucu sumpah!"

"Ih, ya nggak lah. Gue juga ngerti kode etik tentang tikung menikung. Aman pokoknya laki lo sama gue."

"Emang parah banget ya bakal jodoh lo itu? Apa nggak bisa di daur ulang lagi?" tanya Dinar.

"Emang sampah? Di tukar tambah sekalian di toko emas, puas?"

Tiba-tiba Dinar melihat ada Fabian yang sedang makan siang bersama kliennya di kafe itu.

"Ada dia lagi."

Dinar memalingkan muka, malas bertemu dengan mantan terindahnya.

"Mantan terindah lo 'tuh?"

"Indah dari Hongkong? Masa dia kemarin nggusur pondok abi gue," kata Dinar kesal.

"Hah? Seriusan lo? Kurang ajar banget. Kayaknya 'tuh orang dendam karena lo campakkan."

"Mending gue pulang sebelum dia nyamperin."

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang