71

9.5K 972 3
                                    

Fahri sedang mencari buku bacaan di salah satu mall besar. Ia berangkat seorang diri. Masih menggunakan baju koko seragam, tadi sehabis mengajar ia langsung meluncur kemari. Saat sedang memilih buku, tak sengaja matanya menangkap bayangan seorang gadis yang ia kenal, gadis yang telah lama tak dijumpainya.

Gadis itu sedang fokus membaca buku tafsir (bacaan Adel sekarang berat). Fahri berusaha memastikan penglihatannya, jangan sampai ia salah menyapa orang. "Assalamualaikum, apa benar kamu Adel?"

Adel mengangkat pandangannya, dengan bodohnya ia menjepit wajahnya diantara halaman buku, refleks.

"Jadi benar kamu Adel?" Fahri berkata dengan senang. Ia sendiri tak mengerti, perasaan bahagia macam apa ini, saat dirinya bertemu dengan Adel. Apa ini yang bisa disebut kerinduan? Astaghfirullah.

Adel masih diam, masih betah menyembunyikan wajahnya diantara halaman buku.

"Del? Kamu beneran Adel 'kan?" Fahri mulai ragu. Karena gadis di depannya itu tak segera menjawab.

"Oh, maaf. Saya salah orang. Saya kira kamu Adel, teman saya. Sekali lagi maaf." Fahri bersiap pergi dari hadapan gadis itu, ia merasa tak enak, sepertinya gadis itu terganggu dengan kehadirannya.

Teman? Memang hanya itu pangkat lo di depan Fahri, Oneng! Adel meratap dalam hati.

"Ustadz, ini beneran Adel."

Fahri menghentikan langkahnya dan berbalik. "Jadi benar, saya tidak salah lihat."

Adel mengangguk, membenarkan. "Ustadz, apa kabarnya?"

"Baik, kamu sendiri? Kenapa lama tidak datang ke kajian? Saya pikir kamu sakit." Fahri berkata dengan nada penuh kekhawatiran.

Adel menggeleng. "Saya nggak sakit. Tapi terima kasih, karena waktu itu Ustadz mengirimkan saya obat."

"Sama-sama, Del. Daripada obat itu mubadzir, tiga bulan lagi kadaluarsa." Fahri tertawa amat manis, sampai terlihat gigi gingsulnya. Alih-alih seram karena seperti drakula, di mata Adel, gigi gingsul Fahri malah menambah kesan imut.

"Hah?" Adel terbengong mendengar ucapan Fahri.

"Saya bercanda, Del. Mana mungkin saya memberikan obat kadaluarsa kepada kamu. Tapi obatnya beneran kamu minum 'kan?"

"Maaf, Ustadz. Adel nggak suka bau jamu. Terus Adel kasih papa. Eh, papa juga nggak suka. Abis itu Adel oper ke satpam Adel, dia nggak suka juga. Intinya orang serumah Adel nggak suka. Tapi obatnya nggak Adel buang kok. Masih disimpan di kulkas." Adel bercerita panjang lebar, seperti biasanya. Padahal ia ingin bersikap jaim di depan Fahri, ternyata ia gagal.

"Kamu di rumah hanya bertiga, Del?" tanya Fahri lagi.

Adel mengangguk. "Iya, cuma ada papa, Adel sama Pak Sapri. Bik Edah datang cuma dua kali seminggu. Papa Adel duda, nggak enak kalau bik Edah ikut tinggal di rumah. Nanti papa sama bik Edah bisa cinta lokasi."

Fahri senang dengan gaya bicara Adel yang polos dan terus terang. Ditanya satu kata, jawabnya bisa berkali-kali lipat.

"Del, mulai besok, kamu datang ke kajian lagi, ya?" pinta Fahri.

"Emang harus ada Adel-nya, Ustadz? Selama ini kajian berjalan lancar-lancar aja, dengan atau tanpa Adel. Emang ngaruh kalau ada Adel?"

"Ngaruh, ngaruh banget, Del. Saya jadi nggak semangat ngajar kalau nggak ada kamu. Siapa lagi yang bakal ngasih pertanyaan yang aneh-aneh?" Fahri menjawab sambil tersenyum.

"Jadi, kehadiran Adel penting?" Adel bertanya dengan mata berbinar.

"Penting dong. Rasanya lain kalau kamu nggak datang." Fahri menjawab ambigu, membuat perasaan Adel melambung tinggi.

Dengan polosnya Adel bertanya. "Ustadz kangen sama Adel?"

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang