56

9.2K 977 3
                                    

Malam harinya Dinar tidak bisa tidur. Ia memikirkan apa yang didengarnya tadi sore. Dinar merasa kesal, mengapa selama ini ia tidak tau apa-apa. Mentang-mentang ia anak kecil. Keluarganya seolah menganggap ia tak perlu diberitahu.

"Kenapa belum tidur?" Azzam melihat Dinar sedari tadi hanya bergerak gelisah di ranjang sambil sesekali menghembuskan nafas berat.

"Aku kepikiran Adel, Mas." Dinar memutuskan untuk jujur kepada Azzam.

Azzam menghela nafas. "Ada apa lagi?"

Dinar memutuskan untuk mengatakan hal yang mengganggu pikirannya. "Kamu tau, kalau kak Kia dan ustadz Fahri ...."

"Iya, saya tau." Azzam memotong ucapan istrinya.

"Kok kamu nggak cerita sih, Mas." Dinar berujar kesal. Saking kesalnya sampai bangkit dari tidurnya.

"Kan kamu nggak nanya." Azzam menjawab dengan wajah tanpa dosa, membuat Dinar semakin kesal.

"Tapi aku 'kan sering cerita, kalau Adel naksir berat sama ustadz Fahri. Seharusnya kamu 'tuh cerita tentang hal itu. Sejak kapan kamu tau, kalau mereka dijodohkan?"

"Udah lama, sih. Sebelum Fahri berangkat ke Kairo. Waktu itu rencananya keluarga Fahri menginginkan pernikahan mereka dilaksanakan secepatnya, biar sekalian Kia dibawa ke Kairo. Tapi Kia menolak, waktu itu dia masih kelas dua SMA kalau nggak salah." Azzam mengingat kisah lampau itu.

"Kok aku bisa nggak tau, ya?" tanya Dinar pada dirinya sendiri.

"Waktu itu, kamu lagi sibuk-sibuknya keluyuran malam, main sana-sini." Azzam meledek. Membuat Dinar malu.

"Saya tinggal ngerjain tugas sebentar, ya?" Azzam mengambil laptop dan meminta ijin untuk keluar kamar. Dinar mengangguk mengiyakan.

Setelah lama berpikir, akhirnya Dinar merasa tak tahan juga. Ia pikir Adel harus segera tau akan hal ini, sebelum harapannya semakin tinggi dan tak terkendali.

Dinar mengambil ponselnya dan mulai menghubungi Adel, deringan ketiga baru diangkat.

"Assalamualaikum, Del."

"Waalaikum salam, tumben nelpon? Biasanya chat doang?" tanya Adel di seberang sana.

"Lo ... udah tidur?" tanya Dinar ragu. Sejujurnya ia merasa tak tega kepada Adel. Dinar sempat berpikir untuk tidak jadi memberitahu Adel.

"Kenapa nanya gitu?" tanya Adel curiga.

"Nggak kenapa-napa. Ya udah, tidur sana." Dinar berusaha menutup panggilan. Besok atau kapan-kapan saja ngasih taunya.

"Bentar! Gue jadi curiga. Gue tau lo bukan tipe orang yang perhatian ampe nanyain gue udah tidur apa belum. Pasti ada sesuatu yang lo sembunyikan. Ngaku! Sebelum gue siksa." Adel malah mengancam Dinar.

"Janji lo nggak akan kaget?"

"Tergantung."

"Janji dulu, Del."

"Iya-iya." Adel mulai kesal karena Dinar tak segera bercerita.

"Lo cari sandaran dulu, gih. Biar nanti kalau mau pingsan nggak jatuh ke lantai."

"Buruan, Markonah!"

"Eng, anu, Del ...."

"Anunya siapa? Ngomong 'tuh yang jelas."

"Ustadz Fahri, dia ...."

"Kenapa lo ngomongin anunya ustadz Fahri hah? Inget, lo udah punya suami. Apa nggak cukup anu suami lo?"

"Bukan itu maksud gue."

"Hehe ... kirain. Sampai mana tadi?" Adel malu karena terlanjur menuduh Dinar.

"Denger baik-baik, Del. Jangan kaget, jangan sedih. Janji?" Dinar menanyakan kesanggupan Adel.

"Buruan cerita! Kebanyakan disclaimer lo!"

"Ustadz Fahri ngelamar kak Kia." Dinar berkata dengan cepat. Sampai ia sendiri kaget dengan apa yang keluar dari mulutnya.

Diam di seberang sana.

"Del, lo nggak papa?" Dinar bertanya dengan panik.

Masih diam.

"Del, jawab. Lo jangan bikin gue panik!" Dinar semakin khawatir karena Adel tak kunjung menjawab.

"Adel, lo jangan nakutin gue!"

Terdengar sayup-sayup suara tangis. Dinar semakin merasa tak tenang. Ini salahnya, seharusnya ia bisa pelan-pelan saja memberitahu Adel.

"Adel!"

"Oke, gue kesana sekarang."

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang