44

10.1K 1K 27
                                    

"Kenapa abi nggak berpoligami?"

Hajjah Hamidah termenung memikirkan pertanyaan anaknya. Sebelum menjawab ia menghela nafas dalam-dalam.

"Abi kamu orang sibuk, Din. Beliau sering ceramah kemana-mana. Bahkan sampai berhari-hari tak pulang ke rumah. Waktu kamu kecil, kamu juga jarang ketemu abi. Iya 'kan?"

Dinar mengangguk. Ia ingat, seminggu sekali abi selalu ada jadwal keluar kota. Maklumlah, Haji Arifin adalah dai kondang yang mempunyai ribuan umat.

"Abi kamu takut nggak bisa bagi waktu. Punya satu istri saja jarang ketemu anak, apalagi punya istri lain. Kasian juga anak dari pihak istri yang lainnya. Bisa dibilang, lebih banyak mudharat daripada manfaatnya."

"Artinya, laki-laki yang nikah lagi itu gabut ya, Ummi?" tanya Dinar kelewat polos, asal jeplak aja.

"Nggak gitu juga. Pasti ada alasan di baliknya. Dapur orang 'kan siapa yang tau. Kalau prianya bisa bertidak adil sih bagus, kalau belum bisa mending jangan. Banyak hati yang akan kecewa nantinya, bisa istri pertama, madu, dan juga anak-anaknya. Apalagi yang kurang mampu secara ekonomi."

"Perasaan Ummi sendiri gimana, kalau misalkan ... misal loh, ya ... Ummi tiba-tiba dipoligami?"

"Awalnya Ummi pasti kecewa. Yah, nggak munafik lah, ya. Perhatian suami yang awalnya kita monopoli sendiri, harus dibagi dengan wanita lain. Cemburu pasti. Tapi gimana lagi ... namanya juga sudah ketetapan Allah. Bisanya kita hanya sabar. Sabar adalah senjata orang beriman." Hajjah Hamidah menjawab pertanyaan anaknya secara diplomatis.

"Emang, poligami itu hikmahnya apa, Ummi?" tanya Dinar lagi.

Hajjah Hamidah kebingungan menjawab. "Tanya saja kepada abi. Ilmu Ummi masih sedikit. Takut salah bicara."

"Nggak usah deh, Ummi. Nanti abi malah terinspirasi."

"Dinar, poligami nggak seburuk yang kamu kira. Banyak kok yang hidup rukun menjalankannya."

"Tapi, yang di cerita layangan ilang?"

"Cuma film, pasti lah dipoles sana sini supaya lebih menjual. Lebih baik nonton kisah nabi daripada liat film begitu. Jelas-jelas kisah Nabi itu nyata. Film mah cuma fiksi. Kurangin juga baca Wattpad. Mending kamu ngaji supaya dapat pahala."

"Tapi, Ummi ...."

"Jangan resah karena sesuatu yang belum terjadi. Nikmati dan syukuri saja apa yang kita punya sekarang. Perlakukan suami kamu sebaik mungkin. Jangan sampai ada wanita yang memperlakukan dia lebih baik, dibanding kamu." Hanya itu yang bisa disampaikan Hajjah Hamidah sebelum pergi ke dapur.

***

"Kenapa melamun?" tanya Azzam yang baru pulang dari kerja.

Dinar segera teringat perkataan ummi-nya. Ia segera bangkit dan menyambut Azzam dengan antusias. Ia cium tangan Azzam, juga ia bawakan tas kerjanya. "Capek, Mas?"

"Lumayan. Tadi nikahin orang sepuluh. Maklum, musim kawin." Azzam menjawab sembari terheran-heran dengan perilaku istrinya. Biasanya ketika pulang kerja, boro-boro ditanya 'Capek, Mas?' lebih sering dianggurin, sih.

"Kamu kenapa akhir-akhir ini jadi aneh?" tanya Azzam yang tidak kuat menahan penasaran.

"Aneh apa, Mas?"

"Aneh aja. Saya jadi takut."

"Aku baik salah, cuek salah. Emang kamu 'tuh nggak bisa dibaikin deh, Mas." Dinar meletakkan tas Azzam di meja dengan kasar.

"Aneh aja menurut saya. Kemarin temen saya curhat, abis dibaikin istrinya, besoknya istrinya minta ganti mobil. Nggak sanggup saya, Din."

"Siapa yang mau minta mobil, sih. Aku 'tuh cuma ...."

"Cuma?" Azzam menuggu Dinar melanjutkan kata-katanya.

"Takut dipoligami." Dinar mengucapkan perlahan, hampir berbisik.

"Ya Allah, masih aja ribet sama urusan poligami, deh. Sama kayak teman saya, sekantor pada pusing semua. Karena sekarang istrinya jadi curigaan. Seharusnya film layangan lepas itu diboikot saja." Azzam ikutan kesal.

"Jangan, Mas. Aku suka filmnya."

"Tapi akibatnya kamu jadi overthinking gini."

"Aku nggak akan begitu, seandainya kamu mau janji satu hal." Dinar menatap Azzam dengan penuh harap.

"Apa?"

"Kamu mau 'kan janji sama aku, kalau kamu nggak akan berpoligami, selamanya ...."

Azzam tampak berpikir serius. "Maaf, tapi saya nggak bisa."

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang