Fabian datang lebih awal dari luar kota. Seperti kebiasaannya, setiap dari luar kota, ia akan selalu mampir ke rumah Haji Arifin. Untuk sekedar memberikan oleh-oleh.
"Rejeki dari Allah itu banyak jenisnya, tidak hanya harta." Haji Arifin memberikan tausiyah kepada Fabian.
"Yang paling tinggi nilainya adalah kesehatan, dan yang paling rendah nilainya adalah harta. Ada rejeki yang berupa jodoh yang baik, anak soleh, dan juga tetangga yang baik."
Fabian tertarik ketika Haji Arifin membahas masalah jodoh, sangat relevan dengan keadaannya sekarang.
"Abi, bagaimana caranya kita tahu, kalau seseorang itu adalah jodoh kita?" tanya Fabian.
"Tandanya, rejekimu akan terbuka setelah bertemu dengan dia. Semua urusan akan dipermudah. Tertulis dalam surat An-Nahl ayat 72."
"Jadi, kalau ada kasus, setelah menikah keadaan ekonomi makin susah, hidup makin hancur, apakah itu tandanya tidak berjodoh, Abi?"
"Bukan seperti itu. Bisa juga itu merupakan ujian dari Allah, untuk menguji seberapa besar rasa cinta mereka, sampai mana kesetiaan kepada pasangan."
"Apakah ada tanda lain, Abi?"
"Ada, di QS. Ar-Rum ayat 21 dan An-Nur ayat 26. Diantaranya, mendapat ketenangan hati, menerima kekurangan dan kelebihan, diterima oleh keluarga dengan hati terbuka, saling memahami satu sama lain, punya banyak kesamaan, dan dimantapkan dalam shalat istikharah."
Tiba-tiba Kia datang membawa minuman dan juga kue buatan ummi. "Silakan di minum, Abi. Silakan diminum, Mas." Kia agak canggung kepada Fabian, begitupun sebaliknya. Fabian merasa canggung sekaligus senang dipanggil Kia dengan sebutan 'mas'.
Setelah meletakkan minuman, Kia segera undur diri dari hadapan kedua pria itu. Tanpa sadar, Fabian sedari tadi memandangi punggung Kia.
"Kenapa? Kamu baru saja melihat jodoh kamu?" sindir Haji Arifin.
Fabian menjawab dengan gelagapan. "Bukan begitu, Abi. Mana berani saya ...."
"Kenapa? Putri saya kurang cantik di mata kamu?" Haji Arifin pura-pura tersinggung.
"Maaf, Abi. Saya tidak bermaksud seperti itu. Seperti tadi Abi bilang, salah satu tanda orang berjodoh itu ... diterima oleh keluarga dengan hati terbuka ...." Fabian menunduk, ia tau, Haji Arifin tentu tak mengharapkan dirinya untuk menjadi menantu.
"Kata siapa saya nggak menerima kamu?" Haji Arifin berkata dengan santai.
"Tapi, Abi. Saya ...."
"Kamu sudah berubah, Bi. Kamu berhasil menunjukan ke saya, bahwa kamu adalah orang yang tulus, rajin belajar, dan punya kemauan yang kuat. Saya rasa, itu sudah cukup sebagai modal untuk menjadi menantu saya."
"Saya mana berani, Abi. Saya hanya seseorang pria yang rendah ilmu agamanya. Kalau saya bersanding dengan Kia, yang ada bukan saya yang membimbing dia. Melainkan Kia yang membimbing saya." Fabian tersenyum dengan getir.
"Kia itu kemauannya sangat kuat, dia juga agak keras kepala. Kalau kamu bisa membujuk dia agar tidak berangkat ke Kairo, maka kamu boleh menikahi dia. Saya merestui."
Fabian terbengong mendengar ucapan Haji Arifin yang seperti mimpi. "Abi, serius?" Fabian memastikan pendengarannya.
"Kenapa? Nggak mau jadi menantu saya? Ya sudah, masih banyak kok yang mau jadi menantu saya ...."
Fabian segera memotong ucapan Haji Arifin. "Mau, Abi. Saya mau." Fabian segera mencium tangan calon mertuanya dengan hikmat. Tak terasa air matanya mengalir karena terharu.
"Jangan senang dulu. Memangnya kamu bisa membujuk Kia?" tanya Haji Arifin, sengaja menggoda Fabian.
"Bisa, asal Abi mau bantu doa." Fabian menjawab sambil tersenyum.
***
Di dalam kamar, Kia menangis karena terharu. Tak sia-sia ia pura-pura mencuci piring, sekaligus mencuri dengar percakapan Fabian dan Abi-nya. Kini ia tau, perasaannya kepada Fabian tak bertepuk sebelah tangan.
Kia sudah menyiapkan jawaban, jika nantinya pria itu datang melamarnya. Semalam Kia sudah melakukan sholat istikharah, dan memang wajah Fabian lah yang ada di mimpinya.
***
Aseek .... 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.