"Kia! Ummi nggak nyangka kamu punya pikiran seperti itu! Kamu bukan anak kecil lagi, Kia." Hajjah Hamidah tiba-tiba muncul dari dapur membawa nampan.
"Tapi, Ummi. Maksud Kia bukan seperti itu ...." Kia mencoba menjelaskan."Dulu, waktu Dinar lahir, kamu juga cemburu. Saat itu masih wajar, karena kamu masih kecil. Tapi, sekarang ...."
"Ummi, Kia nggak cemburu. Kia cuma heran aja. Dia 'kan cuma orang asing. Kenapa kalian memperlakukannya dengan begitu berlebihan?" Kia menunjuk Fabian yang hanya bisa diam.
"Dia bukan sekedar orang asing, Kia. Dia sudah membantu Azzam keluar dari penjara." Ummi membela Fabian.
"Tapi, dia 'kan sudah mendapatkan imbalan dari abi." Kia yakin abi-nya telah memberikan uang yang banyak kepada Fabian. Sebagai balas jasa karena membantu Azzam.
"Maaf, Kia. Kamu perlu tau, saya melakukannya secara pro bono. Tidak ada imbalan seperser pun."
Kia menjadi malu mendengar penjelasan Fabian. Ternyata pria itu tak seburuk yang ia kira.
Kia langsung pergi ke kamar karena malu. Ummi hanya menggeleng pelan melihat kelakuan putrinya.
"Maaf, ya, Bi. Kia memang wataknya begitu." Hajjah Hamidah mewakili putrinya untuk meminta maaf kepada Fabian.
"Tidak apa-apa, Ummi. Sekalian saya mau pamit, mungkin beberapa hari ke depan saya akan jarang main kemari. Untuk menjaga perasaan Kia."
"Nggak usah dipikirkan perkataan anak itu. Dia asal bicara aja. Kamu boleh datang kapan saja. Ummi dan abi serius menganggap kamu seperti anak sendiri."
"Terima kasih, Ummi. Tapi kebetulan saya ada pekerjaan di luar kota," kata Fabian seraya berpamitan.
"Baiklah, kamu hati-hati perginya. Jangan lupa sering-sering main ke rumah ini," pesan Hajjah Hamidah.
***
Adel dan Dinar makan siang di suatu Kafe. Adel yang menjemput Dinar seusai kuliah. Kali ini mereka absen dulu makan di kafe Amigos. Mereka lebih memilih makan di warung cepat saji di depan lapangan bola.
"Del, lo sekarang mulai aktif ngaji lagi sama ustadz Fahri?"
Adel mengangguk. "Iya, kata dia vibes-nya beda kalau gue nggak datang. Dia jadi nggak semangat ngajarnya. Ini gue nggak halu, dia sendiri kok yang bilang. Sayang gue nggak rekam, biar lo percaya." Adel berkata dengan bangganya.
"Kayaknya hubungan kalian semakin dekat, ya, Del?" Dinar berusaha mengorek info. Ia tak mau kecolongan, ia takut Adel kecewa lagi.
"Yah, sedekat-dekatnya gue sama dia, belum ke tahap yang dekat banget. Dia aja belum nembak gue." Adel berkata dengan gundah. Ia capek digantung Fahri tanpa kepastian.
"Eng ... Del, perlu lo tau, biasanya kalau orang-orang seperti ustadz Fahri itu nggak ngajak pacaran, tapi biasanya ngajak ta'aruf, terus nikah."
"Hah? Langsung nikah? Aduh, gue belum siap, nih." Adel sudah terlanjur besar kepala, seolah Fahri sangat ingin memperistri dirinya.
"Nanti gue bantu, Del." Dinar berkata penuh arti, entah apa maksudnya.
"Bantu gimana maksud lo?" Adel bertanya kebingungan.
"Udah, pokoknya lo tenang saja."
Dinar melihat Adel menuang banyak saos sambal di piringnya. "Del, lain kali, kalau ngambil saos secukupnya aja. Kan mubadzir itu temannya setan."
"Iya juga, kasian setannya yang ngabisin ini saos. Pasti kepedesan. Akhirnya gue tau, asal suara galon gue yang gubluk-gubluk tengah malam. Pasti karena setannya kehausan."
Dinar memutar mata mendengar ucapan Adel yang absurd.
"Din, kalau setan gitu 'kan makhluk goib, ya? Kan mengandung energi juga, ya? Apa nggak bisa dijadikan PLTG? 'kan lumayan 'tuh." Adel bertanya dengan polosnya, lebih mendekati ke bodoh, sih.
"PLTG?" Dinar mengangkat alisnya.
"Pembangkit listrik tenaga goib." Adel berkata sambil cekikikan. Dinar hanya mengelus dada melihat kelakuan Adel.
"Kalau sama ustadz Fahri lo juga bahas ginian? Mending kurangin, Del. Bisa-bisa doi ilfeel sama lo." Nasihat Dinar.
***
_
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.