10

16.4K 1.5K 49
                                    

Malam hari Dinar tak bisa tidur. Udara terasa sangat panas. Maklumlah ia terbiasa menggunakan AC. Biasanya di rumah orang tuanya ia tidur menggunakan tank top saja. Tapi sekarang sepertinya tidak memungkinkan. Ia malu dilihat Azzam.

"Kenapa bangun? Lapar?" tanya Azzam.

Beberapa hari menikah dengan Dinar, Azzam mulai paham kebiasaan istrinya yang bangun tengah malam untuk memakan cemilan.

Dinar menggeleng, Azzam mengerutkan dahi. Ia melihat piyama Dinar yang basah kuyup. Ia baru menyadari kalau Dinar kepanasan. Kipas angin usang di rumahnya tidak berguna untuk mengusir udara panas di kamar itu.

"Kasihan, kamu kepanasan, ya?"

Azzam mengambil selembar majalah dan mulai mengipasi tubuh Dinar. Sedang Dinar hanya terpaku, ia merasa adegan ini sangat romantis. Atau ia saja yang terlalu berlebihan?

"AC yang di kamar aku dulu, aku pindahin ke sini, ya?" tanya Dinar. Ia pikir lebih baik membawa AC dari rumah orang tuanya daripada harus minta dibelikan AC baru oleh Azzam.

"Nggak bisa. Kayaknya saya harus nambah daya dulu. Bisa-bisa listriknya korsleting," terang Azzam.

"Oh, gitu." Dinar hanya mengangguk pasrah. Yah, rumah ini memang tak cukup daya untuk memasang sebuah AC. Barang-barang di rumah ini juga seadanya. TV saja tidak ada.

"Din, maafin saya, ya?" Azzam berkata tulus. Ia benar-benar malu karena belum bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Dinar.

"Buat apa?" tanya Dinar keheranan. Ia ingat hari ini Azzam belum membuat kesalahan sedikitpun.

"Karena saya belum bisa kehidupan yang layak buat kamu." Azzam berkata pelan. Membuat Dinar merasa terharu.

"Nggak papa." Dinar refleks mengelus paha Azzam. Sedang Azzam hanya bisa melirik tangan Dinar yang bertengger di atas pahanya.

"Serius? Kamu ikhlas?"

Dinar mengangkat pundaknya. "Yah, mau gimana lagi?"

Dinar tersenyum. Azzam melihat bulir-bulir keringat yang mengalir di leher Dinar. Azzam mempercepat gerakannya mengipasi Dinar.

"Masih panas?"

"Agak mendingan."

Lama-lama Azzam merasa kegerahan juga. Refleks ia membuka kaosnya. Sontak Dinar menoleh ke arah lain.

"Mas, kamu kenapa buka baju?"

"Saya juga kepanasan." Azzam berkata acuh. Sekarang ia mengipasi dirinya sendiri. Dinar sempat melirik sedikit, sedikit loh ya ... Ke arah tubuhnya. Boleh juga, sih hehe ... pikir Dinar.

"Pake lagi! Pake nggak?" Dinar menyuruh Azzam memakai kaosnya. Sebelum terjadi sesuatu yang diinginkan hehe ....

"Kenapa malu, sih? Kita udah suami istri, Din." Azzam memakai kaosnya dengan cemberut.

"Iya juga, sih." Dinar menggaruk kepalanya.

"Kamu kalau mau buka baju juga nggak papa," goda Azzam.

"Enak aja!"

"Kamu nggak mau dapat pahala?"

Dinar gerah karena perkataan Azzam yang ambigu. Mana sekarang malam Jum'at. Waktu yang sangat tepat untuk bercocok tanam.

"Zikir aja cukup. Itu juga dapat pahala."

Dinar membalikkan tubuhnya. Ia menyelimuti tubuhnya yang sudah terasa gerah, hasilnya jadi makin gerah. Sedang Azzam hanya tertawa melihat tingkahnya.

***

Seminggu sudah Azzam dan Dinar hidup berumah tangga. Selama ini kehidupan mereka tampak aman, nyaman dan sentosa. Walau beberapa terlibat pertikaian tapi berhasil diselesaikan lewat jalur mediasi.

Yah, untuk ukuran rumah tangga newbie, apalagi korban perjodohan, mereka bisa dikatakan cukup harmonis. Jarang bertengkar juga. Kalaupun bertengkar tak memakan waktu sampai berhari-hari. Satu jam juga sudah baikan.

Entah mengapa Dinar yang biasanya rebel dan jago melawan, justru tunduk dihadapan ustadz Azzam. Dinar merasa sungkan berdebat dengan suaminya yang memiliki aura tenang dan berwibawa.

Sudah begitu kalau marah pria itu lebih memilih untuk diam. Dan Dinar paling tidak betah didiamkan. Ia lebih senang jika Azzam mengomel padanya.

Rupanya tak salah haji Arifin memilih Azzam sebagai menantu. Pria itu memang terbukti bisa menjinakkan puterinya yang bar-bar.

Ting!

Dinar meraih ponselnya sambil makan cemilan. Ustadz Azzam duduk di sampingnya sambil membaca buku.

Aku sudah kembali ke Indonesia. Kita ketemuan, yuk?

Wajah Dinar pucat pasi membaca pesan dari Fabian. Sudah lima hari pria itu pergi ke Singapura untuk mengurus pekerjaan. Selama itu pula Dinar bisa tenang menjalani hari-harinya. Tak ada lagi teror pesan yang diterimanya.

Sebenarnya ini salahnya juga. Ia kurang tegas dan terkesan maruk. Seharusnya ia lepaskan saja pria itu. Toh sudah ada ustadz Azzam di sisinya.

Yah, mungkin memang sekarang saatnya Dinar berbicara tegas kepada Fabian. Bahwasanya hubungan mereka sudah tidak dapat dipertahankan.

Tanpa sadar Dinar mengangguk-angguk seorang diri. Ustadz Azzam melirik kearahnya, pria itu heran dengan tingkah istrinya.

"Kamu kenapa?"

"Eh, nggak ada apa-apa." Dinar buru-buru bersikap biasa saja, sebelum suaminya curiga.

Ustadz Azzam hanya menggelengkan kepalanya karena melihat ulah istrinya yang aneh-aneh. Kemudian pria itu melanjutkan kegiatannya membaca buku.

"Mas, besok aku ijin keluar, ya?"

"Ke rumah abi lagi? Dua hari yang lalu kamu 'kan dari sana?"

"Mau jalan sama Adel." Dinar terpaksa berbohong, tak mungkin ia mengatakan akan pergi menemui mantan, eh masih kekasih karena mereka belum resmi putus.

"Baiklah, tapi jangan pulang sore."

"Oke." Dinar merasa lega karena dengan mudah mendapat ijin dari Azzam.

Azzam merogoh saku kemejanya, kemudian memberikan Dinda selembar uang merah.

"Buat jajan."

"Nggak usah, Mas. Uang yang kemarin masih ada." Dinar merasa tak enak. Mau pergi menemui selingkuhan malah diberi uang saku oleh suami sah, what the hell ....

"Pegang aja. Toh jumlahnya nggak seberapa."

"Mas, lagi ada duit?" tanya Dinar.

"Kebetulan saya kemarin dimintai tolong untuk doa di acara tahlilan kampung sebelah. Pulangnya saya dikasih amplop."

"Oh, yang semalam Mas bawa besek hajatan itu, ya?" Dinar teringat makanan yang ia makan kemarin.

"Iya."

"Semoga banyak yang mati, ya. Jadi Mas bisa diundang terus," kata Dinar polos.

Ustadz Azzam membulatkan mata mendengar perkataan polos istrinya. Ia mengelus dada.

"Ya Allah, Dinar. Nggak baik ngomong kayak gitu. Saya ikhlas walau tidak diberi amplop. Saya nggak pernah pasang tarif juga."

"Tapi kalau dikasih 'kan nggak boleh ditolak, Mas. Nggak baik nolak rejeki," bantah Dinar sambil menempelkan yang seratus ribuan itu di dahinya.

Ustadz Azzam hanya bisa menggelengkan kepala sambil beristighfar.

"Din, besok saya ada ujian masuk CPNS. Kamu doakan saya lolos, ya?" Azzam meminta doa restu kepada istrinya.

"Kamu daftar PNS, Mas?" Dinar bertanya antusias. Yah lumayanlah kalau suaminya bisa jadi PNS daripada mengandalkan gaji di TPQ saja.

"Iya, ada lowongan di kantor urusan agama."

"Iya, pasti aku doakan."

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang