"Mau apa kamu masuk ke sini?"
Azzam mengerutkan dahi mendengar pertanyaan bodoh istrinya. Azzam berjalan ke arah tempat tidur, Dinar semakin waspada.
"Mau tidur."
Azzam menata bantal dan selimut miliknya, bersiap tidur di samping Dinar.
"Nggak ada kamar lain apa?" protes Dinar.
"Kamu mau kita pisah kamar?" Azzam tak mengerti arah pembicaraan Dinar. Memangnya kenapa kalau mereka tidur berdua? Toh mereka sudah menikah.
"Y-ya aku 'kan belum biasa." Dinar beralasan.
"Makanya dibiasakan." Azzam cuek saja berbaring di samping Dinar. Matanya sudah terasa sangat berat, ia ingin secepatnya tidur dengan tenang.
"Eh, eh!" Dinar panik sendiri. Ia berusaha menjauh.
"Saya ngerti. Kamu bisa tidur dengan tenang. Saya nggak akan ngapa-ngapain kamu." Azzam mulai memejamkan mata.
Dinar menatap ragu, ia tidak bisa mempercayai Azzam begitu saja. Azzam membuka matanya lagi, ia melihat istrinya itu malah duduk dan tak jadi tidur.
"Saya janji. Tapi nggak tau kalau kamu yang ngapa-ngapain saya." Azzam menutup matanya, malas melanjutkan perdebatan unfaedah ini.
"Jangan terlalu berharap anak muda!" Dinar mencibir. Akhirnya Dinar memaksakan matanya agar terpejam.
***
Pagi harinya Azzam bangun terlebih dulu. Ia langsung memasak makanan. Ia memasak nasi goreng dan telur ceplok. Hanya ada itu di kulkas. Semalam ada tetangga yang mengirim makanan hajatan, karena tidak ada yang makan, Azzam meletakkannya di dalam kulkas.
"Udah bangun?" Azzam menyapa Dinar yang baru saja bangun.
Semalam Dinar tidur lumayan nyenyak. Meskipun kasur di rumah Azzam tidak seempuk kasur di rumah abi-nya.
"Kamu udah bangun dari tadi?" Dinar merasa tak enak sendiri.
"Iya." Azzam menjawab sambil sibuk membuat teh hangat.
Padahal yang sebenarnya semalam Azzam tidak tidur sama sekali, ia terbangun berkali-kali karena Dinar selalu saja mepet ke arahnya. Mungkin karena semalam hujan deras, jadi udara terasa dingin. Biasa, naluri makhluk hidup, selalu mencari tempat yang lebih hangat (teori absurd author hehe ....)
Bukannya apa, Azzam takut dituduh mengambil kesempatan dalam kesempitan. Yah, walupun sebenarnya ia tak salah. Toh Dinar itu istrinya, jadi dia halal untuk disembelih, eh disentuh.
"Sholat subuh dulu." Azzam mengingatkan Dinar yang dengan tanpa dosa ingin segera memangsa nasi goreng buatan Azzam. Maklumlah, kebiasaan di rumah abi-nya, bangun tidur ku terus makan ... mandi belakangan.
"Pelit! Icip dikit aja nggak boleh." Dinar beranjak ke kamar mandi dengan cemberut.
***
Dinar selesai menyapu rumah. Azzam tak pernah menyuruhnya, ia sendiri yang mendapat hidayah. Dinar merasa sungkan kalau tidak melakukan apa-apa di rumah Azzam.
"Saya ada perlu sebentar, kamu di rumah sendiri nggak papa 'kan?" Azzam menghampiri Dinar.
"Eng ... sebenarnya aku juga mau keluar, sih." Dinar teringat janjinya untuk jalan bersama Adel.
"Ke mana?" tanya Azzam.
"Jalan sama temen."
"Cewek 'kan?"
"Ya iyalah. Curigaan banget." Dinar kesal dengan tingkah posesif Azzam. Seolah mereka pasangan yang saling mencintai saja.
"Ya udah boleh. Saya antar sekalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.