Setelah urusan distribusi parcel selesai, Fahri menemui Kia. Apalagi kalau bukan untuk membahas masalah lamarannya.
"Bagaimana, Ki?" tanya Fahri penuh harap. Pria itu telah menyukai Kia sejak mereka masih sekolah. Berawal dari orang tua mereka yang juga bersahabat karib.
Fahri lebih tua tiga tahun dari Kia. Saat Fahri hendak meneruskan kuliahnya di Kairo, saat itu Kia masih kelas dua SMA.
Saat ditanya kapan menikah oleh keluarganya, yang terpikir olehnya ya hanya menikah dengan Kia. Ia bahkan tak pernah terpikirkan sosok gadis lain.
Pergaulan Fahri dengan wanita sangat terbatas, yang ia kenal akrab cuma Kia. Itupun karena mereka bersahabat sejak kecil. Fahri nyaris tak tau caranya berinteraksi dengan wanita lain.
Tapi, terhadap Adel lain ceritanya. Gadis itu yang aktif mendekati dirinya. Awalnya ia merasa risih, karena menurut pandangannya seorang wanita itu seharusnya pemalu dan tinggi gengsinya.
Tapi Adel lain, gadis itu sangat supel juga peramah. Lama-lama Fahri merasa nyaman berbicara dengan Adel. Gadis itu selalu punya banyak topik, ada saja yang dibahas. Walaupun gaya bicaranya terdengar sangat konyol.
Fahri segera beristigfar. Sekarang ini ia sedang dalam posisi melamar Kia, tapi pikirannya malah melantur ke Adel segala.
Kia menghela nafas berat sebelum menjawab pertanyaan Fahri. Sebenarnya ia sudah menyiapkan jawaban sejak lama, hanya tinggal mengumpulkan keberanian saja. "Uda. Bisakah hubungan kita tetap seperti ini saja? Kia sudah nyaman dengan hubungan kita yang sekarang. Kia nggak yakin kalau kita menikah, kita akan nyaman dengan hubungan yang baru nanti." Kia berhenti bicara, ia mengamati ekspresi wajah Fahri.
Fahri menghela nafas. Ia tau, Kia baru saja menolak lamarannya. Fahri hanya bisa mengangguk pelan, sambil tersenyum. Memangnya apa lagi yang bisa ia lakukan? Masalah perasaan memang tidak bisa dipaksakan.
"Soal orang tua kita ...."
"Kamu jangan khawatir, Kia. Saya yang akan menjelaskan kepada mereka." Fahri mengerti kekhawatiran Kia. Sebagai laki-laki ia yang akan bertanggungjawab kepada keluarga besar mereka.
Kia tersenyum lega, karena Fahri mau menerima keputusannya. "Terima kasih atas pengertiannya, Uda."
"Kia, boleh saya tanya sesuatu?" tanya Fahri berhati-hati.
"Boleh, Uda. Silakan."
"Tentang alasan kamu menolak saya ... apa karena Fabian? Tadi saya lihat kalian berangkat bersama ...."
"Bukan, Uda. Dia tidak ada hubungan apa-apa dengan saya. Tadi kami juga berangkat bertiga, dengan abi juga kok." Kia buru-buru memotong pertanyaan Fahri. Ia geli dituduh memiliki hubungan dengan Fabian.
"Saya cuma tanya, Kia. Kamu tidak perlu panik seperti itu. Lagipula kalian terlihat serasi kok."
"Mana ada!" Wajah Kia memerah mendengar candaan Fahri.
"Jangan terburu-buru menilai. Lagipula saya lihat Fabian itu cukup tampan, dermawan juga, pasti ...."
Kia segera memotong ucapan Fahri. "Maaf, Uda. Saya tinggal ke kamar mandi dulu." Kia berjalan dengan terburu meninggalkan Fahri.
***
Kia merasa lega karena semua beban masalahnya telah teratasi. Ia pulang bersama Fabian dan abi-nya dengan hati yang lapang.
"Wajah kamu cerah sekali, Kia? Beda sekali dengan waktu berangkat tadi. Apa karena habis bertemu Fahri?" tanya Haji Arifin sambil melirik Kia dari spion tengah.
"Mana ada!" Kia menyangkal ucapan Haji Arifin.
"Nggak usah pura-pura. Abi juga pernah muda. Kalau begitu, lebih baik pernikahan kalian dipercepat saja, ya. Agar tidak semakin menabung dosa." Haji Arifin masih berharap Fahri bisa menjadi menantunya.
"Tapi, Abi. Kia sama uda Fahri ...." Kia melirik ke arah Fabian. Ia memutuskan tak melanjutkan ucapannya. "Nanti saja di rumah." Kia tak mau orang asing seperti Fabian ikut mendengarkan ceritanya.
Setelah mengantar Kia dan Haji Arifin pulang, Fabian langsung pamit undur diri. Ia menolak tawaran Hajjah Hamidah yang mengajaknya makan bersama.
"Saya masih ada urusan, Ummi." Fabian beralasan.
"Yah, padahal Ummi udah terlanjur masak banyak. Bagaimana kalau dibungkus saja? Nanti bisa dimakan di apartemen."
"Tidak usah, Ummi." Fabian menolak dengan sungkan.
"Kia! Masukkan makanan ini ke dalam kotak makan, ya?" Ummi berteriak memanggil Kia, mengabaikan penolakan Fabian.
Kia datang ke meja makan dengan cemberut. "Semuanya, Ummi?"
"Iya, semuanya. Untuk abi, tadi sudah Ummi sisihkan." Hajjah Hamidah mengulurkan boks dari plastik bermerek baperware.
'Orang ini, setiap datang kemari selalu menjarah makanan. Dipikir rumah ini posko bencana alam, apa?' Kia mengeluh dalam hati sambil melirik Fabian.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.