Fabian mengantar Kia sampai ke depan rumah. Hujan telah berhenti sejak tadi. Fabian turun terlebih dahulu, ia membukakan pintu mobil untuk Kia, seperti sikap laki-laki gentleman pada umumnya.
"Saya langsung pulang saja, ya? Sampaikan salam saya kepada ummi dan abi," pesan Fabian.
"Siapa juga yang menyuruh kamu mampir." Kia berkata dengan ketus. Fabian hanya tertawa menanggapi.
Tiba-tiba angin berhembus cukup kencang, hingga membuat dahan pohon jambu di depan rumah Haji Arifin jatuh. Hampir saja mengenai kepala Kia. Untung saja Fabian sigap menghalangi.
"Kenapa kamu malah mendorong say ... Ya Allah, darah. Kenapa pelipis kamu berdarah?" Kia yang semula hendak memarahi Fabian karena telah mendorongnya, kini berubah jadi panik.
"Saya nggak papa, cuma luka kecil." Fabian berusaha menenangkan Kia.
"Masuk dulu, biar nanti diobati." Kia dengan cepat membuka pintu pagar, hingga menimbulkan suara yang cukup gaduh.
Hajjah Hamidah mengintip keluar, ingin tau manusia mana yang dengan tidak punya adab membuka pintu pagarnya.
"Lho, Kia? Itu kenapa kepala Fabian berdarah?" tanya Hajjah Hamidah panik. Kia mengabaikan pertanyaan Hajjah Hamidah, ia segera masuk kamar untuk mencari kotak obat.
Fabian dibimbing Hajjah Hamidah untuk duduk di kursi ruang tamu. "Ini kenapa bisa pendarahan gini? Bilang, kamu diapain sama Kia?"
Fabian hanya meringis mendengar pertanyaan Hajjah Hamidah. "Nggak diapa-apakan, Ummi. Tadi itu cuma ...."
Kia muncul membawa kotak obat, Hajjah Hamidah segera memberondongnya dengan pertanyaan. "Kia, kamu ada masalah apa sih, sama Fabian? Ummi tau, sejak awal kamu nggak suka sama dia, sikap kamu selalu ketus. Tapi nggak gini juga dong caranya, nggak usah menganiaya orang segala."
"Kia nggak ngapa-ngapain, Ummi. Kalau nggak percaya, tanya saja kepada orangnya langsung. Itu orangnya masih hidup 'kan?" Kia membela diri, tak terima dituduh menganiaya Fabian.
Akhirnya Fabian menceritakan kejadian yang sebenarnya. Hajjah Hamidah tersenyum malu kepada Kia. "Untung ada Fabian yang menyelamatkan nyawa kamu."
"Nggak usah berlebihan, Ummi. Cuma tertimpa dahan pohon jambu, bukan reruntuhan bangunan." Kia mencibir.
"Tetap saja bahaya. Kalau sampai tempurung kepalanya pecah bagaimana? Kalau sampai amnesia atau buta?"
"Kamu masih kenal sama Ummi 'kan?" Hajjah Hamidah berbicara kepada Fabian. Kia memutar bola mata, merasa ummi-nya bicara terlalu berlebihan.
"Ayo, cepat obati. Nanti keburu kehabisan darah." Perintah Hajjah Hamidah. "Ummi mau ke dapur dulu, mau bikin teh."
Kia segera menuangkan alkohol di atas kapas, ketika hendak mengoleskan ke luka Fabian, ia ragu. "Sebentar, saya panggil pak Sardi dulu."
Fabian segera mengambil alih kapas dari tangan Kia. "Biar saya sendiri." Fabian agak mereingis menahan perih ketika mengoleskan kapas itu ke lukanya.
"Apa perlu ke dokter? Barangkali perlu CT scan, ummi takut kamu menderita amnesia." Kia sengaja menyindir. Fabian diam mendengar sindiran Kia.
"Kia, boleh saya tanya sesuatu?"
"Silakan. Kalau saya merasa tidak penting, maka tidak akan saya jawab."
"Mengapa kamu seperti membenci saya? Semua yang saya lakukan ke kamu selalu membuat kamu salah paham. Saya jadi penasaran, apa saya ada salah sama kamu?" Fabian bertanya dengan serius.
Kia hanya diam, tak mau menjawab pertanyaan Fabian. Bukan karena pertanyaan itu tidak penting, tapi sebenarnya Kia juga tak tau jawabannya. Hanya saja setiap melihat Fabian dekat dengan keluarganya ia merasa tak senang.
Melihat Kia hanya diam, Fabian meneruskan pertanyaannya. "Kamu cemburu, karena saya dekat dengan abi dan ummi? Kamu takut, saya merebut kasih sayang mereka dari kamu?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.