Beberapa hari ini Kia tak melihat Fabian datang ke rumah. Ia sedikit merasa bersalah. Apa perkataannya tempo hari sudah keterlaluan?
Kia memberanikan diri bertanya kepada ummi-nya. "Anak kesayangan Ummi beberapa hari ini kok nggak kelihatan?"
"Dia sedang ada pekerjaan di luar kota. Kenapa? Kangen?" sindir Hajjah Hamidah.
"Siapa yang kangen? Kia cuma ...."
"Kia, Ummi nggak ngerti kenapa kamu nggak suka sama dia. Apa karena dia mualaf, lalu kamu menganggap ilmu agamanya masih rendah, hingga tidak pantas berteman dengan kamu?"
"Bukan begitu, Ummi ...." potong Kia.
"Sebagai manusia kita tidak boleh takabur, Kia. Merasa diri kita paling alim, paling banyak ilmunya. Allah tidak suka dengan orang yang sombong. Firman Allah, janganlah berjalan di muka bumi ini dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri. QS. Lukman ayat 18. "
Kia hanya bisa menunduk mendengar nasihat Hajjah Hamidah. Dalam hati ia merasa malu, Kia malu kepada dirinya sendiri.
"Kami menerima dia dengan baik, karena dia itu orang yang baik, tidak pendendam dan juga tulus. Abi pernah menolak dia saat melamar Dinar, tapi dia masih mau membantu Azzam. Abi juga senang dengan semangat belajarnya yang tinggi. Dia antusias sekali untuk mempelajari agama Islam."
Hajjah Hamidah meneruskan ucapannya. "Jangan terlalu dini menilai seseorang, kita tidak akan pernah tau jalan hidupnya kelak."
Hajjah Hamidah meninggalkan Kia seorang diri. Gadis itu masih merenung memikirkan kesalahannya. Ia telah salah membenci seseorang tanpa alasan yang jelas, bahkan orang itu telah membantunya.
Kia segera menyusul ummi-nya ke dapur. "Ummi, Kia bisa minta tolong?"
Hajjah Hamidah yang sedang mengiris bawang segera meletakkan pisaunya. "Minta tolong apa, Kia?"
"Boleh Kia minta nomor telepon dia?" Kia berkata dengan pelan, entah mengapa wajahnya memerah."Dia?" Hajjah Hamidah mengerutkan dahi, benar-benar tidak mengerti. "Dia siapa yang kamu maksud?"
Kia memutar mata. "Itu ... anak kesayangan Ummi."
Hajji Hamidah baru paham, beliau tersenyum kecil. "Buat apa minta nomornya? Mau berkhalwat?" goda Hajjah Hamidah.
"Ih, enggak, Ummi. Cuma mau minta maaf aja kok. Nanti juga nomornya langsung Kia hapus, nggak akan Kia simpan." Kia buru-buru mengelak dari tuduhan ummi-nya.
Hajjah Hamidah meneruskan kegiatannya memotong bawang. "Tunggu saja, biasanya setelah dari luar kota, dia datang kesini untuk ngasih oleh-oleh."
"Kelamaan, Ummi. Beberapa hari lagi Kia mau berangkat ke Kairo." Kia kesal kenapa ummi-nya tidak langsung saja memberikan nomor yang ia minta.
Hajjah Hamidah mematikan kompornya. "Baiklah, Ummi berikan. Tapi bicaranya di depan Ummi, ya?" Hajjah Hamidah merogoh ponsel di saku gamisnya.
"Kok di depan Ummi? Kia malu, Ummi. Kia janji nggak akan bicara macam-macam. Cuma minta maaf aja, udah."
"Ya udah, kalau memang nggak mau bicara macam-macam, nggak ada salahnya dong, bicara di depan ummi?" tantang Hajjah Hamidah.
"Nggak jadi deh, Ummi." Kia malah meninggalkan Hajjah Hamidah untuk pergi ke kamarnya.
Hajjah Hamidah menggeleng pelan melihat kelakuan putrinya, kemudian ia meneruskan memotong bawangnya yang terlantar.
***
Ketika Kia sedang sibuk memeriksa email dari teman-temannya di Kairo, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Kia segera mengangkat tanpa melihat identitas pemanggil.
"Assalamualaikum." Kia menjawab panggilan itu sambil meminum tehnya.
"Waalaikum salam, Kia. Ini saya, Fabian. Maaf saya lancang menelpon, tadi Ummi yang ngasih nomor kamu ke saya. Kata beliau, ada yang ingin kamu sampaikan?"
Kia nyaris tersedak mendengar ucapan Fabian di seberang sana. Karena lawan bicaranya tak menjawab, Fabian menjadi bingung. "Kia, kamu masih di sana?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.