57

9.3K 951 15
                                    

Dinar keluar dari kamar dengan tergopoh-gopoh, Azzam yang sedang sibuk dengan laptopnya menoleh.

"Ada apa?" Azzam bertanya dengan heran.

"Mas, aku mau ijin ke rumah Adel, boleh?" Dinar meminta setengah memaksa.

Azzam melirik jam dinding, sudah pukul sepuluh. "Ada perlu apa, sih? Apa nggak bisa besok aja ketemuannya?"

"Nggak bisa, Mas. Aku khawatir banget sama Adel. Setelah telponan sama aku, dia diam aja, cuma ada suara orang nangis. Aku khawatir dia kenapa-kenapa, kalau dia sampai bunuh diri, gimana?" Dinar berkali-kali melihat jam dinding, tak sabar ingin segera meluncur ke tempat Adel.

Azzam mengerutkan dahi. "Emang kalian tadi bahas apa?"

"Bahas tentang ustadz Fahri yang ngelamar kak Kia."

"Nggak mungkin dia bunuh diri, perkara cowok aja." Azzam terkesan meremehkan kekhawatiran Dinar.

"Banyak kasus kayak gitu, Mas. Kamu pernah liat berita nggak, sih? Apalagi ini pertama kalinya Adel naksir cowok."

"Tapi, kan ...."

"Sebenarnya kamu ngijinin apa nggak, sih?" potong Dinar tak sabar.

"Baiklah, tapi saya antar."

***

Akhirnya Dinar datang ke rumah Adel dengan diantar olah Azzam. Di luar sudah ada ayah Adel yang sedang merokok.

"Om, Adel mana?" tanya Dinar khawatir.

"Haiya, untung lu olang datang. Dari tadi anak itu kerjanya nangis terus, ditanya nangis, ditawari makan nangis. Nggak tau maunya apa. Coba lu olang masuk, bujuk supaya berhenti nangis. Sekarang tissu mahal." Ayah Adel berjalan menuju warteg depan gang yang masih buka. Perutnya lapar karena melihat Adel menangis.

Dinar segera masuk ke rumah Adel. Ia memang sering main ke rumah sahabatnya itu. Sedang Azzam menunggu di teras.

Dinar membuka pintu kamar Adel. Tampak tissu bertebaran di mana-mana. Adel sedang tidur meringkuk di atas kasur, posisinya membelakangi Dinar.

"Del, lo nggak papa? Kata om, lo dari tadi nangis terus?" Dinar menyentuh kaki Adel. Diam, Adel tak menjawab pertanyaan Dinar.

"Del, maafin gue. Seharusnya gue nggak ngasih tau lo. Tapi ini demi kebaikan lo, Del. Gue nggak mau lo makin kecewa nanti."

Adel mengubah posisi tidurnya, kini ia menghadap ke arah Dinar. "Lo nggak salah. Udah bagus lo ngasih tau gue."

"Gimana perasaan lo sekarang?" tanya Dinar, sembari mengelus paha Adel.

"Kalau gue bilang baik-baik aja jelas bohong. Gue cuma marah, tapi nggak tau sama siapa. Entah sama diri gue sendiri, atau ustadz Fahri."

"Tapi ini bukan salah ustadz Fahri, Del. Masalah hati 'kan nggak bisa dipaksakan." Dinar berusaha menasihati Adel, tanpa bermaksud membela Fahri.

"Apa kurangnya gue? Apa bagusnya kak Kia?" Adel bertanya dengan berapi-api.

Banyak, Del.

Dinar hanya bisa menyimpan kata-kata itu dalam hatinya.

"Ini semua gara-gara kak Kia." Tiba-tiba Adel berkata dengan berang.

"Kok jadi kakak gue yang salah?" Tentu saja Dinar tak terima kakaknya disalahkan.

"Jadi lo belain dia?" tuduh Adel.

"Gue nggak bela siapapun. Di sini nggak ada yang salah. Lo yang harus belajar untuk ikhlas, Del. Bukan salah ustadz Fahri kalau nggak menerima cinta lo, bukan salah kakak gue juga, karena dicintai oleh ustadz Fahri. Anggap aja gue yang salah, karena ngajak lo pergi ke kajian, sehingga lo mengenal ustadz Fahri."

"Bukan salah lo juga. Ini cuma takdir." Adel meralat ucapan Dinar.

Dinar tersenyum lega. "Alhamdulillah, kalau lo udah paham. Di dunia ini laki-laki nggak cuma ustad Fahri. Nanti kita cari yang lain, ya?" Adel dan Dinar berpelukan seperti Teletubbies.

Dinar menepuk punggung Adel. "Karena lo udah baikan, sekarang gue ijin pulang, ya?"

"Nggak nginep sini?"

Dinar menggeleng. "Enggak dulu, tadi gue kesini sama laki gue. Besok pagi juga gue harus masak, nyiapin keperluan dia juga."

"Ya udah, makasih udah bela-belain datang. Hati-hati di jalan." Dengan berat Adel melepas kepergian Dinar.

Dinar berjalan menuju pintu, tapi kemudian ia berbalik, karena teringat sesuatu. "Besok ikut kajian 'kan?"

Adel menggeleng. "Gue absen dulu. Mau healing sebentar." Padahal yang sebenarnya Adel masih belum bisa bertatap muka dengan Fahri.

"Lo mau healing? Kebetulan gue mau ke Bali. Gimana kalau lo ikut?" ajak Dinar.

"Hah? Beneran?" Adel merasa antusias dengan ajakan Dinar.

"Iya, sama ummi, sama ... kak Kia ...." Dinar mengehentikan ucapannya, karena merasa salah bicara.

"Gue nggak ikut kalau ada dia." Adel berkata lesu. Ia tak siap bertemu dengan rivalnya itu.

"Please, Del. Kak Kia juga nggak tau apa-apa. Bahkan dia nggak tau kalau lo suka sama ustadz Fahri. Kayaknya kak Kia juga menolak perjodohan itu."

"Kenapa?" tanya Adel penasaran, ia heran karena ternyata ada gadis yang kebal dengan pesona ustadz Fahri.

Dinar mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin ada seseorang yang dia sukai."

"Siapa?"

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang