64

9.4K 938 15
                                    

Kia baru pulang dari kajian di kampung sebelah, ia heran melihat pintu rumahnya terbuka. Ada motor Azzam terparkir di teras, juga ada sandal adiknya yang berserakan di depan pintu.

"Assalamualaikum, Um ...." Kia tak melanjutkan kata-katanya ketika melihat Azzam dan Dinar sedang bersenda gurau di atas sofa. (Cuma bersenda gurau biasa aja kok, nggak ngapa-ngapain.)

Kia menatap canggung ke arah keduanya. Untung saja ipar dan adiknya itu tak tinggal serumah, kalau tidak, pasti ia makan hati setiap hari. Kia sadar, ini memang salahnya, yang belum bisa melupakan Azzam. Kia tau ini adalah dosa, apalagi kalau keluarganya sampai tau.

"Kakak dari mana?" tanya Dinar dengan wajah memerah, malu karena dua kali ke gep main gelitikan.

"Dari kajian di kampung sebelah. Kalian udah lama di sini?" Kia berusaha bersikap santai.

"Udah agak lama, sih. Rencananya mau nonton, tapi nggak jadi. Gerimis, sih." Entah mengapa kata-kata Dinar terdengar seperti nada pamer di telinga Kia.

Kia sadar, dari lahir sampai sekarang, belum ada pria yang mengajaknya nonton di bioskop. Menginjak ubin bioskop saja ia tak pernah.

"Kak, aku mau nanya sesuatu, boleh?" Dinar teringat ingin menanyakan perihal lamaran Fahri.

Kia mengerutkan dahi. "Tanya apa?"

"Nanti aja di kamar."

Azzam mengkode Dinar dengan matanya, seolah berkata. "Jangan bicara macam-macam."

"Ya udah, Kakak tunggu di kamar." Kia sempat mengangguk kecil ke arah Azzam. Sekedar pamit.

***

Di dalam kamar Kia ....

"Kak, beneran ustadz Fahri ngelamar kakak?" tanya Dinar langsung pada intinya.

"Kenapa kamu tau?" Kia bertanya heran.

"Kenapa juga aku nggak boleh tau? Aku kesal karena di rumah ini nggak ada yang berniat buat ngasih tau aku. Apa aku bukan bagian keluarga ini? Aku bukan anak kecil lagi. Aku udah dewasa, udah nikah juga. Bisa dibilang aku lebih pengalaman dari kakak. So, mulai sekarang stop anggap aku anak kecil!" Dinar bicara panjang lebar tanpa mau disela.

"Nggak ada anak kecil yang mengakui dirinya anak kecil," sindir Kia.

"Aku juga pingin tau ceritanya, Kak!" Dinar bersikeras ingin tau.

"Buat apa? Lagipula semua udah berlalu." Kia menjawab santai.

"Maksudnya?"

"Dulu, waktu Kakak masih kelas dua SMA, abi memang ngasih tau, kalau keluarga uda Fahri mau melamar. Waktu itu Kakak kaget, nggak salah? Kakak aja belum lulus kuliah. Kata abi nggak papa, nanti sehabis nikah Kakak bisa nerusin sekolah di Kairo bersama uda Fahri."

Dinar jadi berpikir, kalau kakaknya sampai memanggil 'uda' pasti hubungan keduanya cukup dekat.

Kia melanjutkan ceritanya. "Bertahun-tahun uda kuliah di Kairo. Kakak pikir, wacana perjodohan itu menghilang begitu saja. Tapi setelah kepulangan Kakak, nggak taunya masalah lamaran itu dibahas lagi." Kia menepuk dahinya sendiri.

"Terus, Kakak terima?" Dinar semakin penasaran dengan cerita Kia.

Kia menggeleng, membuat Dinar sedikit lega. Sejujurnya ia ada di pihak Adel. Kakaknya cantik, pasti bisa dengan mudah mendapatkan jodoh, sedang Adel ....

"Kenapa Kakak tolak? Kakak nggak cinta sama dia?"

"Kakak sama uda Fahri? Enggak lah." Kia tertawa dengan renyah.

"Tapi kenapa? Dia 'kan nggak jelek? Banyak kok santriwati yang naksir sama dia."

"Iya, tapi kakak sama dia itu bersahabat sejak kecil, kakak cuma anggap dia sebagai kakak. Dan dia juga bukan tipe kakak, hehe ...."

Dinar mencibir kenarsisan kakaknya. "Sombong sekali! Emang seperti apa tipe Kakak, hah?"

"Dia harus ngerti agama, cerdas, tegas, nggak banyak bicara. Agak cuek, agak kaku, bercandaannya garing. Kurang romantis, polos mendekati bodoh, agak budek. Ada lesung pipi, alis tebal, kulit sedang, tidak terlalu eksotis, tidak terlalu terang, tidak punya mobil, anak yatim ...."

Secara tak sadar Kia menyebutkan semua ciri-ciri Azzam. Saat ia menoleh, ia kaget melihat air mata adiknya telah meleleh.

"Kakak tega! Itu 'kan suami Dinar ...." Dinar segera berlari keluar kamar.

Kia yang baru sadar telah salah bicara, berusaha mencegah Dinar.

"Dek, tunggu. Kakak tadi cuma ...."

Pintu ditutup dengan kencang, Kia hanya bisa pasrah. Ia terduduk di ranjangnya. "Maafin Kakak, Dek."

***

Ini ceritanya mau ditamatkan sampai mana? Apa mau dilanjut abis lebaran aja?

Btw gue udah kelar bikin nastar, huhu .... Terharunya diriku 😭 yang burik kameranya bukan nastarnya (membela diri) biar jelek yang penting halal dan nggak plagiat hihihi ....

 Terharunya diriku 😭 yang burik kameranya bukan nastarnya (membela diri) biar jelek yang penting halal dan nggak plagiat hihihi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang