81

10K 982 13
                                    

Fahri datang ke kediaman Adel seorang diri, kemarin ia baru saja menanyakan alamat Adel kepada Dinar. Setelah mengucap bismillah, ia segera menekan bel rumah Adel.

Seorang pria paru baya keluar dari dalam rumah. "lu olang nyali siapa?"

Fahri mengamati sekilas pria itu itu, mungkin ini ayahnya Adel, pikir Fahri.

"Assalamualaikum. Saya Fahri, Pak. Saya ...."

"Ustadz Fahri?" Adel yang baru saja datang dari minimarket sambil menenteng kantung plastik, ia kaget melihat kedatangan Fahri yang tiba-tiba.

Fahri memperhatikan keadaan Adel yang tak mengenakan hijab. Entah mengapa ada sedikit rasa kecewa di dadanya. Kebetulan saat itu Adel hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek selutut. Rambutnya dibiarkan tergerai.

Fahri jadi berpikir, apa yang akan dikatakan keluarganya jika mereka melihat Adel seperti ini. "Masuk dulu, Ustadz." Adel mempersilahkan Fahri untuk masuk ke rumahnya.

Adel segera masuk kamar untuk berganti pakaian. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan mengenakan gamis dan juga kerudung bergo instan.

"Ustadz, ada keperluan apa, ya?" Adel bertanya keheranan. Sedang ayah Adel pamit ke warung untuk membeli rokok, tadi ia lupa menitip kepada Adel.

"Del, sebenarnya saya datang kemari ingin membicarakan hal yang serius."

"Hal serius apa, Ustadz? Saya kira mau datang melamar saya hehe ...." tanya Adel sambil cengengesan.

"Kok kamu tau, Del? Dinar yang ngasih tau?"

Adel terdiam mendengar ucapan Fahri. "Seriusan? Ustadz datang kemari untuk melamar Adel?" Adel bertanya keheranan.

Fahri mengangguk yakin. "Iya, Del. Saya juga sudah meminta ijin kepada orang tua saya, dan beliau mengijinkan."

Mata Adel membulat sempurna, ia takut salah dengar. Yang diucapkan Fahri barusan, itu nyata 'kan?

"Bagaimana, Del?" Fahri masih menunggu jawaban Adel. Karena sedari tadi gadis itu hanya sibuk terkejut.

"Ta-tapi, Ustadz. Orang tua Adel bukan orang kaya. Soal uang yang ...."

"Tenang saja, Del. Keluarga saya sudah sepakat tak mempermasalahkan uang japuik itu."

Adel bisa bernapas lega. Sekarang tinggal meyakinkan ayahnya saja.

"Del, boleh saya tanya?" Fahri bertanya dengan hati-hati.

Adel mengangguk cepat. "Tanya saja, Ustadz."

"Mulai sekarang panggil saya, Uda." Fahri meralat.

Adel mencoba memanggil Fahri. "Iya, Ust ... eh, maksud saya Uda."

"Kamu, setiap hari, kalau di rumah berpakaian seperti itu, Del?"

Adel mengangguk dengan lugu. "Iya, Ust, Uda ... baju gamis Adel sedikit, itupun dikasih Dinar. Adel belum sempat belanja baju gamis."

"Kalau setelah menikah, kamu mau 'kan pakai baju gamis setiap hari?"

Wajah Adel memerah karena Fahri membahas pernikahan dengannya. "Walau gerah, kalau suami Adel yang nyuruh, Adel akan patuh. Lebih baik gerah di dunia, daripada di akhirat."

Fahri tersenyum mendengar jawaban Adel. "Nanti, setelah menikah, kita belanja baju gamis yang banyak, kalau perlu kita beli sekalian tokonya."

Adel tersenyum tiada henti, sampai pipinya terasa kram, dan giginya juga terasa kering. Ia tak menyangka impiannya untuk bersanding dengan Fahri akan benar-benar terwujud.

"Oh, ya, Del. Soal ayah kamu ...."

"Uda nggak perlu khawatir, Papa pasti setuju. Beliau udah bosen ngasih makan Adel." Adel berkata dengan polosnya.

"Satu lagi, Del. Kamu nggak masalah 'kan kalau belajar mengaji, dan juga ilmu fiqih?"

Adel menggeleng. "Nggak masalah, Uda. Adel akan belajar dengan giat. Asal gurunya adalah Uda."

Fahri tersenyum lega. "Alhamdulillah. Makasih, Del."

"Adel yang makasih. Uda sudah mau memilih Adel. Mulai sekarang Adel janji akan rajin belajar agama. Adel ingin memantaskan diri. Agar serasi bersanding dengan Uda. Agar tidak mempermalukan Uda di depan keluarga." Adel berbicara dengan bersungguh-sungguh.

Fahri bisa melihat kesungguhan Adel. Ia merasa bersyukur Adel tak tersinggung karena Fahri menyuruhnya berubah. Semula Fahri takut Adel menganggap dirinya terlalu mengatur, mengekang, dan tidak mau menerima Adel apa adanya.

"Adel juga punya permintaan kepada Uda."

"Apa itu, Del? Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhinya." Fahri berkata dengan serius, ia mengira Adel membahas tentang mas kawin.

"Adel minta, apapun yang terjadi, Uda akan selalu bersabar membimbing Adel, janji?" Adel bertanya dengan penuh harap.

Fahri mengangguk, menyanggupi permintaan Adel. "Saya janji, Del. Apapun yang terjadi, saya tidak akan pernah menyerah untuk membimbing kamu. Saya tidak akan pernah melepaskan kamu."

Adel tersenyum lega mendengar janji Fahri. Kedua orang itu saling berpandangan, Fahri yang memutuskan pandangan terlebih dahulu.

"Del, tolong panggil ayah kamu. Tidak baik kita berdua di dalam rumah. Sekaligus saya akan meminta restu kepada beliau."

Sebelum Adel keluar rumah, Papa Adel lebih dulu masuk. "Saya merestui pernikahan kalian. Pesan saya cuma satu. Em, siapa nama kamu tadi?"

"Fahri, Pak." Fahri segera menyahut.

"Panggil Papa saja." Papa Adel meralat.

"Baik, Pa." Fahri mengangguk dengan hormat.

"Anak saya cuma satu. Biarpun dia buruk rupa dan tidak pandai apa-apa ...."

"Papa! Kok malah ngejelekin Adel." Adel protes berat, ia segera memotong ucapan papanya.

Papa Adel meneruskan ucapannya. "Tapi, bagi Papa, dia adalah permata. Adel anak Papa yang berharga. Tolong Fahri, kamu jaga dia baik-baik. Sayangi dia. Kalaupun kamu merasa sudah tak menyukainya lagi, tolong jangan sia-siakan dia. Bilang saja ke Papa. Papa sendiri yang akan menjemputnya."

Mata Adel berkaca-kaca mendengar pesan papanya. Ia tak menyangka papanya bisa berbicara seperti itu.

"Buat kamu, Adel. Papa cuma pesan, sekalipun kamu sudah bahagia dengan rumah tanggamu. Jangan lupa, Nak. Sesekali tengoklah Papa. Di sini Papa hanya sendirian. Sempatkanlah waktu untuk sekedar mengunjungi pria tua ini."

"Papa jangan khawatir, Adel akan sering main ke rumah Papa. Boleh kan, Uda?" tanya Adel kepada Fahri.

Fahri mengangguk. Ia berbicara kepada Papa Adel. "Papa jangan khawatir. Adel akan sering datang kemari, saya sendiri yang akan mengantarkan. Kalaupun dia lupa, saya yang akan mengingatkan."

"Terima kasih, Fahri. Karena kamu sudah mau memungut anak Papa."

"Papa! Memangnya Adel sampah?" Dan suasana penuh haru itu berubah jadi lawak. Mereka tertawa bersama-sama. Sesekali Adel mencuri pandang ke arah Fahri.

Ia berbicara dalam hati. "Nggak nyangka, sebentar lagi gue jadi istri orang. Mana laki gue ustadz. Ya Allah, makasih. Adel janji akan jadi istri yang sebaik-baiknya. Adel juga janji, bakal lebih rajin sholat dan mengaji."

***

Janji loh, Del ... 😁








Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang